Hukumonline.com – Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Pol Rivai Sinambela, mengatakan pihaknya menyelidiki laporan LSM lingkungan bahwa konsesi perusahaan yang mendapat penghentian penyidikan kebakaran atau SP3 di Riau, kembali terbakar.
“Diduga api disitu akan kita selidiki. Saya sudah kumpulkan seluruh kepala satuan reskrim untuk serius menindaklanjutinya,” kata Rivai Sinambela di Pekanbaru.
Hanya saja, ia mengatakan polisi dalam melakukan penyelidikan perlu mematuhi koridor yang berlaku, dan tidak bisa langsung melakukan justifikasi seperti halnya yang diutarakan sejumlah LSM lingkungan di Riau. “Jangan sampai kita melakukan proses hukum jadi malah melanggar hukum,” katanya.
Rivai Sinambela berjanji pihaknya akan serius menindaklanjuti laporan mengenai kebakaran lahan dan hutan. Apalagi, ia mengatakan instruksi Kapolda Riau Brigjen Supriyanto sangat tegas bahwa kebakaran, terutama di kawasan konservasi taman nasional, harus ditindak secara tegas. Artinya, siapa pun yang “bermain” meski itu oknum polisi dan TNI tidak akan dilindungi.
Selain itu, ia mengatakan surat perintah penghentian proses penyidikan atau SP3 yang dikeluarkan Direskrimsus Polda Riau sebelumnya kepada 15 perusahaan yang diduga terlibat kebakaran pada 2015, bukan berarti tidak bisa diangkat kembali apabila ada bukti baru. “SP3 itu bukan harga mati. Saya pastikan pada zaman saya tidak ada kasus yang dihentikan,” janji Rivai Sinambela.
Sejauh ini Polda Riau sejak Januari-Agustus sudah menetapkan 85 tersangka kasus dugaan kebakaran lahan dan hutan dari 67 kasus yang ditangani. Dari kasus itu sudah ada 47 kasus yang sudah lengkap (P21), dan sisanya masih penyelidikan dan penyidikan. Seluruh kasus tersebut adalah pelaku perorangan dengan tersangka pelaku pembakaran dan pemilik lahan yang diduga memberi perintah pembakaran.
Sementara itu, pada periode yang sama ada satu kasus yang mendapat SP3 karena tersangka menderita gangguan jiwa. “Satu SP3 karena pelakunya gila. Itu menurut keterangan dokter, jadi tidak bisa dikenakan pidana,” ujarnya.
Sebelumnya, LSM lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) menyatakan bahwa lahan delapan perusahaan yang kasusnya dihentikan polisi melalui SP3 kasus kebakaran hutan dan lahan setempat kembali terbakar.
“Hampir setiap tahun terjadi, itu dilepaskan oleh kepolisian. Nah, tahun ini juga, kami catat ada beberapa titik panas di kawasan yang kasusnya di-SP3-kan itu,” kata Direktur Eksekutif Walhi Riau Riko Kurniawan.
Karena itu, menurutnya, penghentian pengusutan dalam kasus di Riau kini sudah terlihat dampaknya, sehingga SP3 yang dikeluarkan kepolisian itu merupakan preseden buruk. Temuan titik panas (hot spot) pada Agustus, aktivis dari Jikalahari merilis data yang dirangkum terkait titik panas yang ditemukan di lahan delapan perusahaan ikut di SP3-kan oleh Polda Riau itu. Diketahui terdapat total 623 titik api tersebar di Riau selama dua pekan. Sebanyak 267 titik berada pada areal sekitar 45 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan.
“Delapan di antaranya merupakan perusahaan yang di-SP3-kan Polda Riau,” ujar Wakil Koordinator Jikalahari Made Ali.
Delapan perusahaan itu, yakni PT Dexter Perkasa Industri Indonesia sebanyak satu titik, PT Siak Raya Timber satu titik, PT Bina Duta Laksana satu titik, PT Perawang Sukses Perkasa Industri satu titik, PT Ruas Utama Jaya dua titik, PT Huta Sola Lestari tiga titik, PT Suntara Gajah Pati tiga titik, dan terbanyak PT Sumatera Riang Lestari dengan total 13 titik.
Sebanyak 15 perusahaan yang penyidikannya dihentikan karena lahan terbakar pada 2015, yakni PT Ruas Utama Jaya, PT Bukit Jaya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, PT Perawang Sukses Perkasa Industri, PT Suntara Gajah Pati, PT Sumatera Riang Lestari, PT Bina Duta Laksana, PT Dexter Perkasa Industri, PT Rimba Lazuardi dan PT Pan United, PT Siak Raya Timber, PT Parawira, PT Riau Jaya Utama, PT Alam Lestari, dan KUD Bina Jaya Langgam.
(Kongres Advokat Indonesia)