Hukumonline.com – Sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Hukum Pengendara Online Nasional (Timah Panas) yakni Ferdian Sutanto, Rahmat Aminudin, Edy M. Lubis, Afriady Putra, Suhardi, dan Zuvi Novi Darina mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
Permohonan uji materi tersebut sudah didaftarkan di Mahkamah Kontitusi, Jumat (19/8). Sebelumnya para pemohon ini juga mengajukan upaya hukum gugatan warga negara (citizen law suit). Bahkan ada advokat lain yang sudah lebih dahulu mendaftarkan permohonan pengujian UU LLAJ, tapi pasalnya berbeda.
Ferdian Susanto dkk memohon MK menguji Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ terhadap UUD 1945. Pasal itu menyebutkan ‘penyedia Jasa Angkutan Umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan’.
Para pemohon menganggap Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (2) UUD. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Ferdian Sutanto menjelaskan para advokat juga mewakili kepentingan sejumlah pengendara transportasi online: Aries Rinaldi, Rudi Prastowo, dan Dimas Sotya Nugraha. Sopir transportasi daring ini merasa terganggu keamanan dan kenyamanan hak mereka untuk bekerja mencari nafkah, melakukan berbagai aktivitas dan berkomunikasi secara layak dan manusiawi. Gangguan terjadi karena ‘perorangan’ tidak masuk ke dalam kategori penyedia jasa dalam Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ.
“Jadi, kami meminta supaya perorangan ini masuk ke dalam bagian penyedia jasa angkutan umum. Ya sekarang kalau transportasi online ini khan dia yang punya kendaraan dan dia sendiri yang jadi driver-nya,” kata Ferdian kepada hukumonline, Sabtu (20/8).
Terbitnya Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia No. 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek semakin mengukuhkan potensi gangguan terhadap para pemohon. Sebab, sewaktu-waktu para sopir ojek daring, misalnya, bisa dituduh melanggar hukum saat membawa penumpang. Misalnya, mereka kena tilang.
Regulasi itu menurut para pemohon tak sesuai dengan perkembangan zaman. “Kendaraan aplikasi online muncul seperti para pemohon hadir di tengah-tengah masyrakat karena perkembangan zaman,” tegas Ferdian.
“Intinya uji materi ini adalah untuk melindungi hak asasi para pemohon agar tidak terus dilanggar dan melahirkan adanya ketidak-pastian hukum,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)