Cnnindonesia.com – Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan langkah Kementerian Hukum dan HAM merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah bentuk kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati mengatakan, KPK tidak sependapat dengan rencana Kemenkumham merevisi PP tersebut. KPK menilai, revisi PP itu akan menghilangkan efek jera yang sengaja diberikan kepada koruptor
“(Revisi PP 99/2012) adalah kemunduran. Revisi itu tidak mencerminkan pemberantasan korupsi,” ujar Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (18/8).
Yuyuk menuturkan, sejauh ini Biro Hukum KPK telah berupaya melakukan lobi dengan Kemenkumham untuk mempertimbangakan kembali merevisi PP itu. Berdasarkan analisa sementara, KPK tidak sepakat dengan rencana Kemenkumham menghilangkan Justice Collaborator dan pernyataan lunas dari syarat bagi koruptor untuk mendapatkan remisi.
Lebih lanjut, ia juga kembali menyampaikan, KPK tidak menerima alasan kelebihan kapasitas sebagai alasan utama untuk merevisi PP itu. KPK meminta, Kemenkumham untuk meninjau kembali sejumlah kajian terkait solusi mengatasi kelebihan kapasitas di Rutan mapaun di Lapas.
“Sudah ada kajian tentang Lapas, layak ditengok apakah benar alasan over capacity layak digunakan untuk revisi PP 99/2012. Kami ingin PP ini dibahas tidak tergesa dan banyak pihak yang dimintai pendapat,” ujarnya.
Sementara itu, Yuyuk berkata, KPK juga mengaku kecewa dengan adanya pemberian remisi terhadap sejumlah koruptor pada hari kemerdekaan 17 Agustus kemarin. Ia menilai, pemberian remisi kepada koruptor telah mengesampingkan harapan masyarakat atas penindakan tegas terhadap koruptor.
Oleh karena itu, terkait revisi PP dan remisi bagi koruptor, KPK telah mengirimkan sikap secara tertulis kepada Kemenkumham dan Presiden. Langkah itu untuk memperjuangkan hukuman terhadap koruptor tetap diperberat.
“KPK tidak hentinya selalu menginginkan efek jera bagi koruptor. Efek jera harus diperjuangkan karena masyarakat melihat dari situ,” ujar Yuyuk.
Kemenkumham berencana menghapus Justice Collaborator sebagai syarat remisi bagi para narapidana kouptor yang tercantum dalam PP 99/2012. Mereka beralasan, Juctice Collaborator sudah masuk ke dalam persidangan sebagai salah satu poin untuk menentukan hukuman terpidana korupsi.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly berkata, PP 99/2012 diundangkan dengan filosofi yang tidak sesuai. Pemerintah, kata dia, akan menerbitkan PP baru yang akan memberikan hak setara bagi seluruh narapidana.
“Kami akan perbaiki karena filosofinya menyatakan semua warga binaan harus mendapatkan revisi. Memang akan ada dampaknya ke over capacity, tapi kami harus koreksi dulu filosofinya,” ucapnya di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (14/6).
Yasonna menuturkan, PP 99/2012 bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara hirarkis berada di atasnya, terutama UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
PP 99/2012 merupakan perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan kedua itu mengatur sejumlah syarat pemberian remisi bagi narapidana kasus pidana narkotik, kejahatan HAM, terorisme, keamanan negara, korupsi dan pidana transnasional lainnya. Sejumlah syarat itu antara lain bersedia menjadi justice collaborator serta melunasi denda dan uang pengganti pidana.
(Kongres Advokat Indonesia)