Hukumonline.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, kebijakan batas atas (capping) suku bunga deposito masih tetap diperlukan apalagi berlakunya program pengampunan pajak. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, kebijakancapping suku bunga deposito diperlukan untuk menjaga persaingan yang sehat antar bank.
Alasannya, lanjut Nelson, lantaran program amnesti pajak berpotensi masuknya dana repatriasi yang besar. Sehingga, peluang terjadinya perebutan dana oleh pihak perbankan semakin terbuka. Untuk meminimalisir terjadinya persaingan yang tak sehat karena perebutan dana repatriasi, kebijakan capping suku bunga deposito menjadi hal yang penting.
“Perkembangan terakhir ini misalnya salah satu pertimbangan kita kan ada tax amnesty. Kita berharap jumlahnya besar, tapi kita belum tahu berapa banyak. Kita tidak mau bank menggunakan suku bunga sebagai senjata merebut itu (dana repatriasi), nanti mereka perang lagi,” ujar Nelson di Jakarta, Jumat (19/8).
Berdasarkan kebijakan supervisi OJK, suku bunga dana maksimal untuk Bank BUKU IV dipatok 100 bps di atas BI Rate. Sedangkan, untuk Bank BUKU III ditetapkan maksimum 75 bps di atas BI Rate. Ketentuan tersebut, berlaku untuk simpanan di atas Rp2 miliar. Sementara itu Bank BUKU I dan BUKU II tidak dibatasi.
Nelson menyebutkan kemungkinan level capping suku bunga deposito tersebut akan dipertahankan. “Kami tidak ingin ada perubahan mendasar, suasana kan sudah tenang. Level tetap, BI rate kan 6,5 persen, berarti (capping) 7,25 persen (untuk Bank BUKU III) sama 7,5 persen (untuk Bank BUKU IV). Level itu kita pertahankan,” katanya.
Pada Jumat ini, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) digelar. BI rate sendiri berada di level 6,5 persen. Sebelumnya, OJK menyatakan akan melakukan penyesuaian aturan capping suku bunga deposito seiring mulai akan diberlakukannya BI 7-day Reverse Repo Rate pada 19 Agustus 2016 ini.
Nelson pun menyebutkan bahwa OJK masih akan tetap menggunakan BI rate sebagai acuan penentuan batas atas suku bunga deposito. “Setelah kita cek, BI rate kan sama dengan setahun. Sementara ini tetap kita gunakan yang setahun,” ujarnya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan, likuiditas bank mulai membaik karena imbas aliran dana dari hasil program amnesti pajak. Selain likuiditas, perbaikan juga terlihat dari jumlah deposito, pertumbuhan kredit dan persentase non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah.
“Kita pantau setiap hari. Likuiditas membaik, deposito naik, kredit naik, NPL sudah membaik, dan dana pihak ketiga juga membaik,” ujar Muliaman.
Dia menilai titik terendah lesunya industri perbankan pada bulan Mei di mana NPL mencapai 3,1 persen. Namun untuk saat ini Muliaman menyatakan rata-rata NPL perbankan sudah turun menjadi 3 persen. Dia berpendapat meningkatnya NPL perbankan diakibatkan oleh lesunya komoditas pertambangan yang mulai terjadi pada 2015.
“Masalah mining, batubara itu kena di 2015. Banyak NPL terkait batu bara, banyak perusahaan yang mendukung batu bara itu kena semua,” papar Muliaman.
Sedangkan untuk pertumbuhan kredit, lanjut dia, berada di level 9-10 persen per Agustus 2016 (yoy). Muliaman yang juga merupakan mantan deputi gubernur Bank Indonesia tersebut mengatakan kontribusi dari kebijakan amnesti pajak cukup signifikan dalam membaiknya industri perbankan, selain kebijakan yang dikeluarkan pemerintah juga membuat kondisi pasar kondusif dan nyaman.
Muliaman mengatakan aliran dana hasil program amnesti pajak bisa mempercepat pertumbuhan di sejumlah sektor seperti properti hingga pertanian. “Bisa (mempercepat sektor properti). Tapi mungkin bukan hanya sektor properti, sektor-sektor lain saya melihat ruangan untuk kebutuhan likuid di sektor lain juga besar. Misalkan pertanian pertumbuhannya besar betul, year to date sudah 20 persen,” tutupnya.
(Kongres Advokat Indonesia)