Hukumonline.com – Meski sependapat dengan pidato Presiden Joko Widodo yang memuji produktivitas Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara, anggota Komisi III DPR Asrul Sani merasa MA masih memiliki sejumlah permasalahan yang belum terselesaikan. Dan, memang, dalam pidatonya, Presiden tidak menyinggung permasalahan tersebut.
“Yang saya pahami dari konteks Presiden, memuji produktivitas itu dalam arti mempercepat jangka waktu penanganan perkara, sehingga dari sisi kuantitas penanganan perkara pun jadi banyak. Tapi, Presiden tidak memuji kualitas,” katanya usai mendengarkan pidato Presiden dalam sidang bersama DPR dan DPD di Kompleks Parlemen, Selasa (16/8).
Selain itu, menurut Asrul, Presiden juga tidak menyinggung persoalan-persoalan hukum yang menyangkut kultur, budaya, dan perilaku dari jajaran peradilan. Padahal, sepanjang 2016, setidaknya ada empat perkara yang melibatkan oknum peradilan. Sebut saja, Andri Tristianto Sutrisna, Edy Nasution, Rohadi, dan Santoso.
Keempatnya diduga menerima suap terkait penanganan perkara. Namun, Asrul memahami bahwa di samping permasalahan-permasalahan itu, MA telah melakukan perbaikan. Ia mengakui jika MA telah mencapai kemajuan dalam konteks reformasi peradilan, yakni dalam kuantitas dan percepatan penanganan perkara.
Percepatan penanganan perkara ini, sambung Asrul, tidak hanya berlaku di MA, tetapi juga di pengadilan tingkat banding maupun tingkat pertama. MA sendiri memiliki cetak biru (Blue Print) pembaruan peradilan 2010-2035. Dimana, salah satunya menitikberatkan penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan kinerja peradilan.
Cetak Biru MA Halaman 64 |
Secara ringkas, sasaran dari penerapan TI di MA dapat dirumuskan sebagai sarana pendukung untuk mencapai hal-hal berikut ini : a. Peningkatan kualitas putusan, yaitu dengan penyediaan akses terhadap semua informasi yang relevan dari dalam dan luar pengadilan, termasuk putusan, jurnal hukum, dan lainnya; b. Peningkatan sistem administrasi pengadilan, meliputi akses atas aktivitas pengadilan dari luar gedung, misalnya registrasi, permintaan informasi, dan kesaksian; c. Pembentukan efisiensi proses kerja di lembaga peradilan, yaitu dengan mengurangi kerja manual dan menggantikannya dengan proses berbasis komputer; d. Pembentukan organisasi berbasis kinerja, yaitu dengan menggunakan teknologi sebagai alat untuk melakukan pemantauan dan kontrol atas kinerja; e. Pembentukan lingkungan pembelajaran dalam organisasi, yaitu dengan menyediakan fasilitas e-learning atau pembelajaran jarak jauh. |
Faktanya, MA dan pengadilan-pengadilan di bawahnya telah menggunakan teknologi infromasi untuk memudahkan para pencari keadilan mengakses register hingga putusan perkara. “Dan itu artinya capaian yang harus kita apresiasi dalam konteks pelayanan publik. Tapi, sekali lagi, kita belum bicara soal kualitas dan perilaku,” ujar Asrul.Lantas, bagaimana dengan alur penanganan perkara di MA yang kerap dikeluhkan para pencari keadilan? Asrul mengungkapkan, percepatan penanganan perkara yang dimaksud adalah mulai dari perkara itu didaftarkan sampai diputus. Justru yang harus dikritisi adalah setelah perkara itu diputus sampai dikirimkan atau diberitahukan.
“Makanya, ke depan, Komisi III sendiri sudah menyampaikan agar MA begitu diputus, langsung dipublikasi secara online di situsnya, kayak Mahkamah Konstitusi. Konsekuensinya adalah ketika putusan dibacakan, itu benar-benarhal yang sudah matang. Itu yang belum dilakukan oleh MA. Itu yang ingin kami kritisi sebetulnya,” terangnya.
Dalam pidatonya, Presiden mengapresiasi produktivitas MA dalam memutus perkara. Ia mengatakan, produktivitas MA dalam memutus perkara, hingga akhir 2015 adalah yang tertinggi dalam sejarah MA. Sisa perkara hingga akhir 2015 pun terendah dalam sejarah MA. “Ini berarti tunggakan perkara secara konstan berhasil dikurangi,” ucapnya.
Dari sisi waktu, lanjut Presiden, sekitar 12 ribu perkara atau 82 persen diputus oleh MA sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, yakni kurang dari tiga bulan. Saat ini,tidak kurang 1,8 juta putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai putusan kasasi dan peninjauan kembali (PK) tersedia pada situs putusan MA.
Sementara itu, informasi penanganan perkara telah tersedia pada situs masing-masing pengadilan. “Dengan demikian, akses publik terhadap proses perkara di pengadilan semakin luas. Selain itu, untuk mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu,maka dikembangkan database yang berbasis teknologi informasi,” tutur Presiden.
Juga memuji MK dan KY
Selainmemuji MA, Presiden juga memuji Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berpendapat, MK sudah menunjukkan kinerja penanganan perkara yang konsisten sesuai standar yang telah ditetapkan. Buktinya, dalam kurun waktu Agustus 2015 hingga Juli 2016, MKtelah menerima 244 permohonan perkara konstitusi.
Dari jumlah itu, 92 perkara merupakan pengujian undang-undang (UU), satu perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), dan 151 perkara perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.Presiden menyatakan, berkaitan dengan perkara pengujianUU, MK telah memberikan legal policy baru yang mengandung dimensi kepastian, kebenaran, dan keadilan konstitusi.
“Sedangkan,menyangkut perkara perselisihan pilkada serentak, MKtelah memutus 151 perkara pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dari total 268 pilkada. Ke depan, MK berinisiatif memperluas penerapan teknologi dalam mengadili dan memutus perkara,” paparnya.
Demikian pula dengan Komisi Yudisial(KY). Presiden mengapresiasi kinerja KY yang telah berupaya keras menjalankan tugas dan fungsinya dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim. Salah satunya, dengan meningkatkan kualitas seleksi Hakim Agung.