Hukumonline.com – American Bar Association (ABA) mengamandemen kode etik yang berlaku bagi setiap anggota yang bernaung di bawahnya. Setelah proses pembahasan dalam pertemuan nasional ABA di San Fransisco, Senin 8 Agustus 2016, klausul yang mengatur larangan dilontarkannya komentar sexist yang ditujukan kepada pengacara perempuan telah secara resmi diberlakukan.
Seperti dikutip dari laman www.nytimes.com, 9 Agustus 2016, selama ini pengacara-pengacara perempuan mengeluhkan rekan sejawat mereka yang melontarkan kata-kata seperti “honey” atau “darling” yang dimaksudkan untuk merendahkan. Terminologi misoginis yang dilontarkan oleh rival mereka dalam ruang sidang dan segala tindakan yang dimaksudkan untuk melecehkan pengacara perempuan sebelumnya tidak mendapatkan konsekuensi apapun.
Dikutip dari abovethelaw.com protes secara massif atas tindakan pelecehan terhadap pengacara perempuan ini digerakkan oleh peristiwa yang dialami oleh Lori Rifkin, seorang pengacara perempuan yang berbasis di Oakland, California. Dalam persidangan, ia mewakili seorang klien dalam kasus mengenai wrongful death lawsuit. Lorkin berhadapan dengan Peter Bertling, managing partners dari Bertling & Clausen, sebuah law firm yang berbasis di Santa Barbara, California.
Peter Bertling merupakan seorang pengacara senior yang telah berpraktik lebih dari 30 tahun. Dalam persidangan, Peter berulang kali melakukan tindakan yang merendahkan kemampuan Lorkin. Puncaknya adalah ketika Lorkin membacakan disposisi, ia meminta Peter untuk berhenti menginterupsinya. Peter justru mempermalukan Lorkin dalam ruang sidang dengan mengatakan, “Don’t raise your voice at me. It’s not becoming of a woman or an attorney who is acting professionally under the rules of professional responsibility.”
Atas tindakannya tersebut, Peter Bertling dijatuhi sanksi oleh hakim. Paul Grewal adalah hakim dalam sidang tersebut, menuliskan sanksi terhadap Peter dalam 10 halaman yang ia dedikasikan sebagai sikap yang menentang komentar sexist dalam persidangan dan membela martabat pengacara perempuan.
Menurut Paul, komentar Peter merefleksikan stereotype terhadap pengacara perempuan yang memiliki standar yang berbeda dari rekan sejawatnya yang laki-laki. Ketika seorang pengacara melontarkan komentar sexist dalam persidangan, tindakannya tersebut tidak hanya menggambarkan kurangnya profesionalitas Peter sebagai pengacara, tetapi mencoreng wajah seluruh profesional hukum dan memalukan sistem hukum secara keseluruhan.
Sebenarnya, melontarkan komentar sexist di persidangan telah dilarang dalam kode etik bagi praktisi hukum di lebih dari 20 negara bagian di Amerika. Namun larangan ini belum diberlakukan oleh asosiasi pengacara Amerika secara nasional. Gerakan protes ini juga dimotori oleh banyak praktisi hukum di beberapa Negara bagian yang meminta ABA untuk segera mengadopsi larangan ini.
Pengacara-pengacara yang bernaung di bawah American Bar Association kini dilarang melontarkan komentar-komentar yang didasarkan pada sentimen ras, agama, jenis kelamin, disabilitas, dan hal-hal lain yang dimaksudkan untuk merendahkan. Larangan juga berlaku terhadap tindakan pelecehan termasuk pelecehan seksual, dan tindakan merendahkan lainnya baik secara verbal dan non-verbal.
Seperti dikutip dari laman nytimes.com larangan melakukan tindakan pelecehan seksual ini tidak hanya berlaku dalam “praktik beracara di persidangan” tetapi juga dalam “berinteraksi dengan saksi, rekan kerja, aparatur peradilan, dan pengacara lain” dan dalam “menjalankan kantor pengacara” serta “berpartisipasi dalam kegiatan asosiasi pengacara dan kegiatan sosial lainnya”.
ABA akan mengenakan sanksi bagi pengacara yang melanggar kode etik profesi. Gradasi sanksinya beragam, mulai dari peringatan, dikeluarkan dari ruang sidang, bahkan sampai bisa dicabut izin praktiknya, tergantung dari jenis pelecehan. Keberlakuan aturan ini bukan terjadi tanpa penolakan. Dikutip dari laman time.com pada 10 Agustus 2016, kritik terhadap aturan ini banyak dikaitkan dengan kebebasan berekspresi bagi pengacara dalam mewakili klien di persidangan.
Namun, kekhawatiran tersebut dijawab oleh ABA, bahwa sanksi dalam aturan ini berlaku dengan syarat tertentu, yakni pengacara yang melanggar kode etik tersebut telah mengetahui atau sudah selayaknya dianggap mengetahui bahwa tindakan tersebut tergolong ke dalam tindakan yang melecehkan dan diskriminatif.
Untuk diketahui, ABA merupakan asosiasi pengacara amerika yang didirikan pada 1878 di New York. Dalam website resminya, American Bar Association setidaknya memiliki 400.000 anggota. ABA berpusat di Chicago, Illinois, dan memiliki kantor cabang terbesar di Washington D.C. Selain menyusun kode etik bagi profesi pengacara, ABA melakukan akreditasi terhadap sekolah hukum di Amerika sejak 1923.
(Kongres Advokat Indonesia)