Hukumonline.com – KPK bersama aparat penegak hukum lain tengah fokus melakukan pencegahan korupsi di sektor kesehatan, kehutanan, infrastruktur, pangan, minyak dan gas. Agar membuat efek jera, pencegahan itu harus dibarengi dengan penindakan. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata sangat setuju jika aparat penegak hukum mulai menjerat korporasi.
Sebab, menurut Alexander, pihak yang paling banyak menikmati keuntungan adalah korporasi. Selain itu, juga untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara. “Bahkan, beberapa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) kadang-kadang kita tidak berhasil memulihkan kerugian negara itu karena kerugian negaranya dinikmati korporasi,” katanya, Selasa (9/8).
Untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi, sebenarnya aparat penegak hukum dapat menggunakan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Faktanya, instrumen tersebut jarang digunakan aparat penegak hukum. Bahkan, KPK belum pernah sekalipun menjerat pelaku korporasi.
Alexander menjelaskan, walau UU Tipikor membuka peluang untuk memidanakan korporasi, belum ada ketentuan mengenai tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi di pengadilan. Hal inilah yang membuat KPK belum pernah menjerat pelaku korporasi. “Kalau pengurus korporasinya, saya kira sudah banyak,” ujarnya.
Oleh karena itu, perlu ada kesepahaman dengan Mahkamah Agung (MA) dan jajaran pengadilan untuk mengatur tata cara pengajuan korporasi sebagai pelaku tindak pidana di persidangan. Alexander mengaku, KPK telah berkoordinasi dengan MA. “Mungkin tidak lama lagi ada SEMA (Surat Edaran MA) yang mengatur korporasi sebagai pelaku korupsi. (Kami) Masih menunggu,” imbuhnya.
Ia berharap, dengan membawa pelaku korporasi ke muka pengadilan, negara dapat menarik kerugian negara dari sektor korporasi. Tentu, penanganannya pun tidak akan sembarangan. Korporasi hanya bisa dijerat jika pelakunya melakukan tindak pidana atas nama korporasi atau melaksanakan tugas selaku pegawai atau pejabat sebuah korporasi.
Memang, MA sedang menyusun Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) terkait hukum acara atau tata cara persidangan untuk tindak pidana yang dilakukan perusahaan atau korporasi. Ketua MA M Hatta Ali, dalam konfensi pers pada 30 Juni 2016, mengatakan penyusunan PERMA melibatkan lembaga terkait, termasuk para hakim pengadilan tingkat pertama dan banding.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Kamar Pidana MA, Artidjo Alkostar mengungkapkan minimnya pelaku korporasi pencurian ikan, pembalakan liar, pembakaran hutan, korupsi, atau pencucian uang yang dibawa ke persidangan. Ia menduga hal itu lantaran perbedaan pandangan antara aparat penegak hukum mengenai bagaimana pertanggungjawaban kejahatan korporasi.
Akibatnya, sambung Artidjo, penuntut umum kesulitan merumuskan surat dakwaan, sehingga enggan melimpahkan perkara ke pengadilan. Penuntut umum pun belum memiliki standar bentuk surat dakwaan dalam perkara kejahatan korporasi. “Soalnya KUHAP sendiri belum menentukan petunjuk penyusunan surat dakwaan ketika subjek hukum pelakunya korporasi,” terangnya.
Sejak KPK berdiri, lembaga antirasuah ini belum pernah menjadikan korporasi sebagai subjek atau tersangka korupsi. Tidak hanya KPK, penegak hukum lain pun jarang menjadikan korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi. Hanya tercatat satu kasus korupsi korporasi yang berhasil dibawa ke persidangan, yaitu PT Giri Jaladhi Wana yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin.
PT Giri didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari. PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan penutupan sementara selama enam bulan. Adapun kasus korupsi korporasi lainnya yang sempat disidik Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media (IM2) pada 2013. Namun, tidak jelas kelanjutan perkaranya.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai, gerakan antikorupsi saat ini hanya mengawasi seperlima dana yang harus diawasi, yakni APBD sejumlah Rp2100 triliun. Padahal, uang yang beredar di Indonesia mencapai Rp12 ribu triliun. Untuk itu, korupsi di sektor swasta juga harus mendapat perhatian.
Menurut Teten, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) sudah memberikan kerangka korupsi di sektor swasta. Contohnya kasus Enron di Amerika Serikat. Ketika perusahaan raksasa swasta itu melakukan korupsi dan ambruk, maka dampak sosial ke dunia sangat besar.
Indonesia sendiri sudah meratifikasi UNCAC melalui UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. “Catatan saya ini harus menjadi perhatian kita semua, bagaimana korupsi di sektor swasta, bukan hanya fokus pengadaan pemerintah yang hanya seperlima dari total dana beredar di Indonesia,” terang Teten.
Sementara, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berpendapat, ada sejumlah permasalahan yang akan dihadapi dalam penanganan korupsi korporasi. Misalnya, dampak terhadap karyawan perusahaan tersebut sehingga KPK harus bekerja sama dengan pejabat pengelolaan aset, bila terjadi pengambilalihan aset.
Bambang menyatakan, KPK pernah menangani kasus semi-korporasi di era Antasari Azhar. Kasus yang dimaksud adalah kasus korupsi Presiden Direktur PT Surya Dumai Grup, Pung Kian Hua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan kehutanan untuk dibangun kebun sawit. Pung Kian Hua divonis 1,5 tahun penjara dan diminta membayar uang pengganti Rp346 miliar.
Sebagaimana diketahui, Pasal 1 angka 3 UU Tipikor telah menjelaskan bahwa unsur “setiap orang” adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. Pasal 20 ayat (1) UU Tipikor mengatur, dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
Terkait dengan sanksi pidana pokok bagi pelaku korporasi, Pasal 20 ayat (7) UU Tipikor membatasi sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga. Adapun pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 UU Tipikor, salah satunya penutupan perusahaan.
(Kongres Advokat Indonesia)