Hukumonline.com – Lembaga penegak hukum terus menjadi sorotan masyarakat luas. Apalagi penangkapan terhadap warga lembaga peradilan masih saja terjadi. Ironisnya, reformasi birokrasi yang digembar gemborkan belakangan tahun terakhir tak mampu pula mengubah kultur warganya di lembaga peradilan.
“Isu utama dari sebelum reformasi lebih perubahan kultur, karena dikeluhkan oleh masyarakat karena pada persoalan suap menyuap, itu menyangkut kultur. Integritas itu bagian dari kultur,” ujar anggota Komisi III Arsul Sani di Gedung DPR, Selasa (19/7).
Meski di tubuh Mahkamah Agung (MA) terdapat perubahan perbaikan dalam aspek informasi penanganan perkara, namun perubahan kultur mestinya sudah dapat dilakukan. Apalagi, reformasi telah bergulir 18 tahun. Menurut Arsul, lembaga di bawah tampuk kepemimpinan Hatta Ali belum mampu melakukan perubahan kultur.
“Itu yang MA belum bisa tunjukan kepada masyrakat,” imbuhnya.
Dikatakan Arsul, operasi penangkapan yang dilakukan KPK berulang kali terhadap hakim dan panitera mengukuhkan penilaian di bidang kultural belum terdapat perubahan di peradilan. MA mesti menjawab hal tersebut. Menurut Arsul, MA mesti memulai dengan melakukan perubahan manajemen di bidang kultural, atau lebih dikenal dengan revolusi mental.
Cara sederhana yang dapat dilakukan yakni para hakm dilarang keras bermain golf dan tenis dengan advokat maupun profesi lain. Termasuk dengan penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Pengadilan pun dilarang meminta sumbangan dengan dalih mencari sponshorsip. Kedekatan melakukan aktivitas apapun yang dilakukan hakim dengan profesi lain di luar pengadilan akan membentuk kedekatan.
“Kalau dalam kitab Ihya Ulumudin karya Imam Ghazali, dikatakan hujan besar dan lebat kemudian hakim lewat, kita tidak boleh meminjamkan payung. Profesi hakim itu khusus, meski hakim butuh pertolongan karena kehujanan. Menjaga independensi itu lebih di atas, hakim itu spesial,” ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan itu.
Anggota Komisi III Daenk Muhammad menambahkan, proses penegakan hukum di tanah air memang dalam kondisi buruk. Terlebih, wajah peradilan dalam posisi di titik nadir. Menurutnya pengawasan mestinya tak lagi ditangani oleh internal MA. Tetapi pengawasan diserahkan kepada pihak eksternal.
“Jangan mengomentari lembaga soal korupsi kalau di lembaga sendiri tidak dibersihkan,” ujarnya.
Menurutnya, pengawasan internal MA berfungsi mengawasi kinerja dan menjaga kehormatan hakim. Sementara, kata Daenk, upaya yang dilakukan hanya simbol semata. Ia menilai KY sebagai lembaga ekseternal mesti mampu proses pengawasan maksimal dengan menjaga kehormatan hakim ke depan.
“Anda bisa bayangkan berapa kasus hukum pemainnya adalah juga penegak hukum. Kita rakyat bagaimana mendapat keadilan kalau mereka penegak hukum tidak bersih,” ujarnya.
Sebatas eksekutor
Arsul sani berpandangan MA dalam aspek pengawasan mestinya sebatas melakukan eksekusi. Namun mekanisme pengawasan diberikan sepenuhnya kepada lembaga pengawasan ekstenal. Pasalnya bila pengawasan dilakukan internal sama halnya ‘jeruk makan jeruk’.
Menjadi persolan ketikan KY masuk ke ranah putusan, kualifkasi komisoner lembaga eksternal itu belum tentu seluruhnya memiliki keahlian dalam menilai kualitas putusan. Meski pengawasan ekternal dilakukan namun tidak berarti hanya dilakukan sendiri oleh KY. Pengasawasan yang dilakukan KY mesti dibantu oleh pihak lain.
“Harusnya MA itu eksekutor saja, kemudian proses-proses itu dilakukan eksternal. Lembaga di bawah KY pengadilnya harus melibatkan MA, KY dan unsur masyarakat. Jadi jangan MA dan KY saja, harus ada unsur masyarakat. Jadi seperti ad hoc,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)