Hukumonline.com – Tak cukup mengajukan judicial review atas Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty, Ketua Yayasan Satu Keadilan, Sugeng Teguh Santoso, mendesak Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan segera mundur dari jabatannya. Sugeng mengatakan, pihaknya akan mendatangi kantor Dirjen Pajak pekan depan. Ia sekaligus juga bermaksud meminta klarifikasi dari pihak Dirjen Pajak terkait kebijakan tax amnesty.
Rencananya itu didasari oleh sikap Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi yang seolah mengancam dirinya. Sugeng mengaku, ia merasa diancam atas pernyataan Ken dengan dalih pemeriksaan SPT. Sebelumnya, melalui media Ken mengatakan bahwa ia berwenang melakukan pemeriksaan terkait SPT terhadap para penggugat UU Pengampunan Pajak.
“Jadi saya hari Kamis pekan depan akan ke Dirjen Pajak, saya akan minta klarifikasi. Saya (juga) minta Presiden copot Dirjen Pajak yang menakut-nakuti masyarakat,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (14/7).
Sugeng menjelaskan, dirinya memang tidak melakukan pelaporan SPT sejak tahun 2015 lalu. Tetapi sampai tahun 2014 ia merupakan wajib pajak yang taat membuat laporan. Ia pun mengingatkan, waktu penyampaian SPT tahun 2015 masih berlangsung hingga bulan September mendatang.
“Saya sudah lapor SPT sampai 2014. Tahun 2015 saya belum lapor. Tapi kan itu belum lewat sampai September,” tambahnya.
Anggota Komisi XI DPR RI Ecky A Muharram, juga menilai bahwa Dirjen Pajak tak selayaknya memberikan ancaman. Ia mengingatkan, pernyataan semacam itu bisa melanggar norma demokrasi di Indonesia. Sebab, setiap warga negara Indonesia berhak untuk mengajukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan manapun yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya.
Ecky juga memberikan motivasi kepada para penggugat UU Pengampunan Pajak. Menurutnya, ancaman-ancaman yang diberikan terkait proses judicial review tak perlu menjadi batu sandungan. “Enggak usah takut,” tegasnya.
Dirinya menilai wajar jika ada pihak yang melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait UU Pengampunan Pajak. Ecky menuturkan, dalam pembahasan dan pengesahan UU itu pun parlemen belum satu suara. Ia mengingatkan bahwa masih ada penolakan-penolakan dari fraksi-fraksi di DPR.
Menurutnya, pembahasan tax amnesty yang dilakukan di DPR selama ini selalu berjalan tertutup. Publik tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui perjalanan RUU tersebut hingga kemudian disahkan. Ia pun menyesalkan bahwa pembahasan di dalam sidang pleno terkesan hanya formalitas saja.
“Saya menyesalkan dalam proses pembahasan (tax amnesty) itu sudah 90% di rapat tertutup. Fakta politik ada satu partai politik yang menolak pasar krusial, yakni PKS,” katanya.
Kendati demikian, Ecky menyampaikan bahwa pihaknya tak terkait dengan proses judicial review di MK. Ia menegaskan bahwa meskipun melakukan penolakan dalam rapat di parlemen, dirinya sebagai anggota DPR ataupun PKS tidak pernah melakukan uji materi ke MK. Ia menyatakan tidak ikut campur dalam gugatan yang diajukan sejumlah pihak terkait UU Tax Amnesty tersebut, karena hal tersebut adalah suara rakyat dan menjadi hak konstitusi.
“Kalau penolakan itu sikap politik. Tapi kami tidak melakukan judicial review, yang judicial review bukan kami, itu realitas politik, fakta politik. Sedangkan yang melakukan judicial review itu publik bukan partai, itu hak konstitusi lho,” tandasnya.
Pengurus Kadin Indonesia Komite Tetap Perpajakan, sekaligus Akuntan Publik dan Konsultan Pajak, Herman Juwono, mengakui bahwa penerapan tax amnesty ini memerlukan konsensus nasional, sehingga akan selalu ada pro dan kontra. Hanya saja, ia menilai penerapan tax amnesty untuk meningkatkan pajak sebagai penerimaan negara yang harus terus ditingkatkan sebagai sumber pembangunan nasional. Alasan itu, menurutnya membuat kebijakan pengampunan pajak seharusnya tak perlu lagi konsensus nasional.
“Pelaku usaha ingin tax amnesty yang akan diajukan menjadi RUU ini mempunyai tujuan yang baik, bukan sebagai perangkap,” tandasnya.
Ia pun menyampaikan, telah ada kesepakatan internasional bahwa mulai tahun 2017 mendatang, informasi mengenai keuangan akan dibuka. Menurut Herman, Indonesia juga ikut dalam kesepakatan tersebut. Sehingga, pemerintah dan pemangku kepentingan perpajakan di Indonesia sudah harus mempersiapkan diri menyambut era keterbukaan itu,
“Para pengusaha juga menginginkan adanya kepastian berapa persen yang harus dibayar atas kekayaan bersih mereka,” ujarnya.
Terpisah, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah bersiap untuk menghadapi pengajuan judicial review UU Pengampunan Pajak. Meko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pihaknya akan mengadakan rapat untuk membicarakan persiapan.
“Kita siapkan bagaimana timnya, pengacaranya. Timnya harus ada kalau tidak nanti tidak ada yang mengurusi hari ke hari,” ujarnya.
Darmin menegaskan bahwa implementasi program pengampunan pajak tidak akan terganggu oleh rencana pengajuan uji materi UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi. “Tanya saja ke rakyat setuju tidak bahwa ‘tax amnesty’ ini dijalankan, tidak usah terlalu dipusingkan. Orang bisa menafsir begini-begitu, jadi nanti di MK saja diputuskannya,” kata Darmin.
(Kongres Advokat Indonesia)