Hukumonline.com – Mahkamah Agung (MA) akhirnya memutuskan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) atas praperadilan yang dimohonkan oleh mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo.
Permohonan PK tersebut diperiksa oleh Hakim Agung Dr. Salman Luthan sebagai ketua, Sri Murwahyuni dan MS Lumme sebagai anggota. Putusan yang diketok pada 16 Juni 2016 tersebut memutus tidak menerima PK yang diajukan oleh KPK. “NO (Niet Ontvankelijke Verklaard/tidak dapat menerima) KPK RI Melawan Hadi Poernomo,” demikian dilansir panitera MA dalam websitenya pada Selasa (28/6).
Dasar KPK mengajukan PK adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menerima permohonan praperadilan atas penetapan tersangka yang diajukan oleh Hadi. Selain mengabulkan penetapan tersangka Hadi Poernomo tidak sah, hakim tunggal PN Jaksel Haswandi mengabulkan sebagian permohonan praperadilan yaitu penyidikan, penggeledahan dan penyitaan atas diri tidak sah.
“Mengabulkan permohonan untuk sebagian. Menyatakan penyidikan yang dilakukan termohon berkaitan peristiwa tindak pidana korupsi sebagaimana penetapan sebagai tersangka terhadap diri pemohon atas dugaan Pasal 2 ayat (1) atau 3 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 KUHP adalah tidak sah,” sebut Haswandi.
“Menyatakan penyitaan terhadap barang-barang pemohon tidak sah. Menyatakan tidak sah segala keputusan yang dikeluarkan lebih lanjut atas diri permohon. Membebankan biaya perkara oleh termohon sebesar nihil,” sambung Haswandi.
Sedangkan permohonan Hadi yang tidak dikabulkan oleh hakim adalah permintaannya agar hakim menyatakan bahwa sengketa pajak merupakan proses hukum khusus dan dalam penyelesaian keberatan pajak diatur oleh UU Pajak, bukan merupakan perbuaan pidana dan tidak termasuk wilayah pemberantasan korupsi.
Haswandi kemudian membedah UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK dan Standard Operating Procedure (SOP) internal KPK mengenai pengertian dari penyidikan. “Apakah penetapan tersangka pada awal atau setelah selesai dilakukan penyidikan? UU KPK tidak mengatur hal tersebut,” tegasnya.
Haswandi menjelaskan Pasal 38 UU KPK menegaskan segala kewenangan yang berkaitan dengan penydikan, penyelidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berlaku pada penyidik dan penyelidik KPK. “Oleh karena itu Pasal 1 butir 2 yang menjelaskan mengenai penyidikan juga berlaku bagi penyidik KPK,” jelasnya.
“Menimbang dengan demikian harus ada proses penyidikan dahulu yang membuat terang tindak pidana yang terjadi, sedangkan bukti permulaan yang cukup pada penyelidikan adalah untuk menentukan calon tersangka,” tambahnya.
Hal tersebut, jelas Haswandi, sesuai dengan SOP KPK tentang prosedur penyidikan: Kegiatan pemeriksaan pesiapan; Kegiatan pemeriksaan bukti, saksi, ahli, dan calon tersangka; Penggeledahan; Penyitaan; Kegiatan penahanan; Gelar perkara; dan Kegiatan pelimpahan perkara ke tahap penuntutan.
“Dengan demikian penetapan tersangka dilakukan setelah pemeriksaan saksi, ahli, dan calon tersangka, dan barang bukti. Tetapi penetapan tersangka status a quo dilakukan bersamaan dengan perintah penyidikan. Sedangkan pemeriksaan bukti, saksi, ahli, dan calon tersangka, penggeldahan serta penyitaan dilakukan setelah 27 April 2014 tersebut. Sehingga penetapan pemohon sebagai tersangka bertentangan dengan undang-undang dan SOP,” tegasnya.
Tim kuasa hukum KPK Yudi Kristiana mengatakan putusan ini membuat tidak ada urgensinya lagi KPK menjalankan proses sebagai penegakan hukum. “Karena penyelidikan dianggap tidak sah. Alasan tidak sahnya itu karena penyelidik diangkat bukan dari kepolisian, padahal semenjak KPK berdiri, penyelidikan dilakukan dengan pola seperti itu. Jadi ini jelas upaya hukum yang sistematik untuk mendegradasi eksistensi hukum KPK. Untuk apa ada KPK? Cukup sampai disini saja,” ujarnya.
Yudi juga menjelaskan apabila konstruksi berpikir hukum seperti dalam putusan tersebut terus dipakai maka semua tersangka akan melakukan peninjauan kembali. “Jika konstruksi berpikir hukum ini yang akan dipakai maka seluruh tersangka dan terdakwa tindak pidana korupsi akan melakukan peninjauan kembali,” jelasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)