Tempo.co – Sejumlah kejanggalan mencuat dari pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan di Badan Legislasi, Dewan Perwakilan Rakyat.
“RUU ini sudah mangkrak, kenapa tiba-tiba dikejar untuk paripurna?” ujar Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani dalam diskusi di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu, 26 Juni 2016.
Julius menuding penyusunan RUU Pertembakauan sarat pelanggaran prosedur, praktik korupsi dan berat sebelah terhadap produsen industri rokok.
Poin pertama kejanggalan RUU Pertembakauan, kata Julius, ada pada proses awal kemunculannya. Sebelum muncul RUU Pertembakauan, terdapat RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan (PDPTTK) yang diajukan 205 anggota DPR, pada tahun 2006.
“Sepanjang 2010-2011 pembahasan PDPTTK sangat progresif, dengan nuansa perlindungan hak asasi manusia,” ujar Julius.
Pembahasan PDPTTK, ujar Julius mendadak berhenti pada 2011, seusai kunjungan kerja anggota DPR ke sejumlah wilayah yang menjadi lahan industri rokok terbesar di Indonesia. “Konsekuensinya, tidak bisa ada pengajuan RUU apapun di masa depan dengan judul sama, yaitu ‘tembakau’.”
RUU Pertembakauan muncul mendadak pada tahun 2012. “RUU tembakau ini diajukan lagi dengan nama pertembakauan, katanya ada yang mengusulkan, tapi tiap fraksi saling lempar,” tutur Julius.
Draft RUU Pertembakauan, kata dia, relatif mirip dengan RUU PDPTTK, namun dengan perubahan di sana sini. “Dari yang berkenaan dengan kesehatan, tiba-tiba jadi soal legalisasi industri rokok. Ada apa?”
Percepatan pembahasan RUU tersebut menurutnya juga patut dipertanyakan. Karena, RUU yang masuk dalam daftar prioritas harus dimantapkan dalam dua kali masa sidang DPR RI, yaitu sekitar setahun. Hal itu sesuai dengan Pasal 121 ayat 1 Tata Tertib DPR Nomor 1 Tahun 2014.
RUU Pertembakauan, sudah menjadi prioritas di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2015, dan dua tahun mangkrak tanpa pembahasan.
“Lalu tiba-tiba RUU ini dikejar, padahal masih 37 RUU prolegnas lainnya, dan bahkan ada 10 RUU prioritas lain. Kenapa yang ini didahulukan?” ujarnya.
Dari informasi YLBHI, pembahasan RUU Pertembakauan sempat dilakukan anggota DPR di Hotel Sultan, Senayan. “Dalam Tata Tertib (Tatib) DPR, tak boleh anggota melakukan proses legislasi di luar DPR, karena bisa jadi ada uang saku yang tak terkontrol, atau biaya lain yang tak transparan,” ujarnya.
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho pun mengatakan bahwa penyusunan RUU di luar DPR berpotensi lemah pengawasan. “Yang harus dilihat apakah prosesnya lazim? Jika dilakukan di hotel, siapa yang bayar?” ujarnya.
Menurut Emerson, keterlibatan pihak luar dalam penyusunan RUU tersebut, bisa dianggap sebagai gratifikasi, dan bisa diproses secara hukum. Saat ini, penyusunan RUU tersebut dianggap rentan diintervensi para produsen bisnis yang bersangkutan. “Seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus pasang radar di pembahasan RUU pertembakauan,” ujarnya.
Ketua Panitia Kerja RUU Pertembakauan Firman Subagyo adalah salah satu pihak yang mendorong percepatan pembahasan RUU tersebut.
Dia berpendapat RUU Pertembakauan bisa melindungi keberlangsungan petani tembakau lokal yang sering bermasalah, misalnya karena impor tembakau. “Data pada 2013 menyebutkan, Indonesia defisit impor tembakau hingga 240.000 ribu ton per tahun.”
Impor tembakau, menurutnya berakibat pada minimnya serapan tembakau dari petani lokal. “Jadi di RUU Pertembakauan diatur pembatasan impor tembakau, secara gradual,” tutur Firman dalam keterangan tertulis, dua pekan lalu.
Dia mengapresiasi sikap tegas Jokowi yang tak buru-buru menandatangani ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC ini merupakan perjanjian yang berfungsi untuk membatasi dan mengontrol penyebaran produk tembakau, seperti rokok.
(Kongres Advokat Indonesia)