Hukumonline.com – Sebagai bekal menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, advokat perlu Standar Kompetensi Kerja.
Pemerintah diberi amanat oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan untuk mengatur tata cara penetapan standar kompetensi kerja. Standar kompetensi itu digunakan sebagai acuan dalam menggelar pelatihan kerja. Salah satu yang baru diatur Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) adalah standar kompetensi kerja profesi advokat.
Untuk kepentingan itu, Dirjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Keputusan Bernomor 58/LATTAS/III/2016 tentang Registrasi Standar Khusus Bidang Advokat. Ada 15 jenis kompetensi yang diatur dalam Surat Keputusan itu seperti melakukan konsultasi pra-kontrak dalam layanan hukum kepada klien dan membuat kontrak kerja layanan hukum kepada klien.
Direktur Bina Standarisasi Kompetensi dan Pelatihan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Suhadi, mengatakan standar kompetensi kerja khusus itu hanya berlaku untuk perusahaan/industri atau asosiasi profesi tertentu.
Mengacu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standarisasi Kompetensi Kerja Nasional, standar kompetensi kerja khusus yaitu standar kompetensi kerja yang dikembangkan dan digunakan oleh organisasi untuk memenuhi kebutuhan internal organisasi dan/atau untuk memenuhi kebutuhan organisasi lain yang memiliki ikatan kerjasama dengan organisasi yang bersangkutan atau organisasi lain yang memerlukan.
Suhadi menjelaskan ada yang disebut Standar Kompetensi Kerja Khusus, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan Standar Kompetensi Kerja Internasional. Standar Kompetensi Kerja Khusus bisa dikembangkan sendiri oleh perusahaan atau organisasi profesi. Jika standar kompetensi profesi itu mau diberlakukan secara nasional harus ditetapkan menjadi SKKNI.
Surat Keputusan Dirjen Binalattas Bernomor 58/LATTAS/III/2016 itu menurut Suhadi diterbitkan berdasarkan permohonan asosiasi profesi advokat yang tergabung dalam Kongres Advokat Indonesia (KAI). Oleh karenanya standar kompetensi kerja khusus itu hanya berlaku untuk KAI. Jika ingin memberlakukan standar kompetensi kerja yang bisa digunakan oleh seluruh profesi advokat di Indonesia, diperlukan SKKNI.
Standar Khusus Advokat
“SKKNI tidak bisa diajukan oleh perusahaan/industri atau organisasi profesi, harus melalui kementerian terkait,” kata Suhadi kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (17/6).
Suhadi menjelaskan mekanisme pembentukan standar kompetensi kerja khusus dan SKKNI berbeda. Standar kompetensi kerja khusus bisa diajukan oleh perusahaan atau organisasi tertentu, tapi SKKNI harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan dibina oleh Kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM untuk profesi advokat.
Suhadi berharap profesi advokat di Indonesia bisa bersinergi bersama Kementerian Hukum dan HAM guna membentuk SKKNI. Selain itu lembaga pendidikan juga dilibatkan dalam membentuk SKKNI karena standar kompetensi itu akan digunakan dalam pelatihan dan pendidikan profesi advokat. Apalagi di era MEA sekarang ini pekerja lokal harus mampu bersaing dengan pekerja asing. “Kita berharap Kementerian Hukum dan HAM mendorong profesi di bidang hukum agar punya standar kompetensi (SKKNI),” ujarnya.
Kemenaker mencatat sampai saat ini ada 546 jenis profesi yang memiliki SKKNI. Untuk Standar Kompetensi Kerja Khusus jumlahnya sekitar 80 profesi yang diajukan oleh perusahaan dan organisasi profesi.
(Kongres Advokat Indonesia)