Cnnindonesia.com – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan diminta melakukan klarifikasi resmi kepada Presiden Joko Widodo, karena namanya terindikasi masuk dalam dokumen The Panama Papers.
Meskipun yang bersangkutan telah buka suara di media massa, hal itu dinilai tidak cukup.
“Menko Polhukam bilang bahwa akunnya sudah tidak aktif. Itu harus dihargai, tapi tidak cukup memberi klarifikasi kepada media. Berikan penjelasan secara resmi kepada negara,” kata Direktur Eksekutif Katadata Metta Dharmasaputra dalam diskusi Apa Kabar Skandal Panama Papers di Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (17/6).
Terlepas akunnya masih dipakai atau tidak, kata Metta, kasus tersebut telah menjadi pembicaraan di publik.
Karena itu Luhut perlu memberikan penjelasan resmi kepada presiden. Jokowi juga diminta memberikan penilaian terkait ada atau tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan Luhut.
“Perlu ada penjelasan resmi kepada presiden sebagai atasan, dipelajari kemudian ada tanggapan resmi (Presiden) juga,” katanya.
Dalam dokumen The Panama Papers, nama Luhut tercatat sebagai Direktur Mayfair International Ltd yang terdaftar di Seychelles –negara kepulauan di lepas pantai timur Afrika, Samudra Hindia– pada 29 Juni 2006.
Panama Papers merupakan istilah bocornya dokumen firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, yang melayani jasa pembuatan perusahaan cangkang. Dokumen itu berisi nama-nama perusahaan cangkang di negara suaka pajak.
Selain Luhut, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Aziz juga diminta memberikan laporan resmi kepada Komite Etik BPK, karena namanya masuk dalam dokumen The Panama Papers. “Seharusnya pemerintah secara aktif dan pejabat-pejabat yang terindikasi harus melakukan klarifikasi secara sukarela,” katanya.
Metta menilai ada permasalahan etika dan transparansi jika nama kedua pejabat itu terbukti menyimpan uangnya di negara surga pajak. Dia menyebutkan, lingkaran terbesar pemilik akun di Panama Papers diisi oleh kelompok politisi. Posisi berikutnya ditempati oleh pengacara, asosiasi sepakbola, pebisnis, dan wirausahawan.
“Dengan frame itu kita bisa lihat ada apa dengan para politisi yang membuat akun-akun di negara itu. Ketika dia punya jabatan publik dia harus mempertanggungjawabkan kepada publik. Ini jadi relevan,” katanya.
Di banyak negara, Panama Papers menjadi ancaman serius. Bahkan pejabat publik yang namanya masuk dalam dokumen tersebut sampai ada yang mengundurkan diri.
Sementara di Indonesia, Panama Papers tak memberi efek yang begitu berarti bagi pejabat publik.
Metta menilai kehendak politik pemerintah sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini. Komite independen, menurutnya, juga perlu dibentuk untuk memberikan penilaian kepada pejabat publik yang namanya masuk dalam Panama Papers.
“Jelas dalam hal ini butuh sinyal kuat dari presiden bahwa Indonesia bersungguh-sungguh ingin memperbaiki transparansi aspek keuangan khususnya yang terkait dengan negara surga pajak,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso menyatakan pihaknya masih menyelidiki sejumlah nama warga negara Indonesia yang tercatat dalam dokumen Panama Papers, maupun mereka yang menyimpan dananya di negara-negara surga pajak.
Namun, ia mengakui proses penyelidikan itu tidak mudah dilakukan. “Ternyata tidak terlalu mudah, kita kroscek seluruh data di PPATK dan coba sandingkan dengan data yang ada di lapangan. Saat ini PPATK masih memproses itu,” imbuh Agus.
Dia menambahkan, pihaknya juga menginisiasi kerjasama regional dengan Australia dan Malaysia dalam menelusuri sejumlah nama yang terindikasi masuk di dokumen Panama Papers.
Sementara Singapura yang dianggap sebagai tempat persembunyian paling aman bagi pengemplang pajak, belum mau diajak bekerja sama. “Kita ingin Singapura bisa ikut, ternyata yang terlibat baru Malaysia dan Australia. Singapura menyatakan belum minat, ya tidak apa-apa,” kata Agus.
(Kongres Advokat Indonesia)