Sindonews.com – Penangkapan seorang penegak hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin mencoreng peradilan di Indonesia. Penangkapan ini semakin membuktikan bahwa beban manajerial di Mahkamah Agung (MA) dalam banyak aspek memang sudah overload, khususnya pengawasan pengadilan seharusnya memang berkonsentrasi penuh pada kewenangan justisial bukan penyelenggaraan peradilan pada tafsir yang terlalu luas.
Peristiwa ini mengundang keprihatinan Komisi Yudisial (KY) karena ingatan publik masih kuat terhadap penangkapan hakim sebelumnya oleh KPK. Peristiwa ini juga membuktikan belum adanya efek jera bagi aparat penegak hukum meskipun sudah dilakukan serangkaian penangkapan karena terlibat kasus hukum.
“Eksesnya adalah wajah peradilan Indonesia kembali tercoreng. Stigma buruk dan upaya mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan makin sulit didapatkan,” ujar juru bicara KY Farid Wajdi, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (16/6/2016).
Dia mengingatkan, peristiwa ini harusnya menjadi pelajaran penting bagi lembaga peradilan harus mampu meminimalkan segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
“MA tidak perlu ragu, pengawasan dan sanksi yang lemah seolah sebagai pintu masuk untuk melakukan pelanggaran. Intinya bahwa berbagai kasus belakangan menegasikan bahwa reformasi di peradilan memang belum menyentuh masalah dasarnya, yaitu soal integritas,” tandasnya.
KPK melakukan penangkapan terhadap panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara (Jakut) berinisial R. Bersama R, penyidik KPK juga menangkap seorang pengacara yang diduga sebagai pelaku suap.
(Kongres Advokat Indonesia)