Rmol.co – Skenario perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan agenda utama mendelegitimasi KPK. Mengingat, selama ini lembaga anti rasuah itu selalu menunjukkan supremasi hukum dalam hal pemberantasan korupsi di cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
“Berdasarkan catatan kami, sejarah delegitimasi lembaga antikorupsi seperti KPK merupakan pola berulang. Sudah ada tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti di republik ini. Empat diantaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi,” ujar Direktur Eksekutif Respublica Political Institut (RPI), Benny Sabdo, dalam keterangannya kepada redaksi, Senin (15/2).
Oleh karena itu, kata dia, RPI secara kelembagaan menolak perubahan UU KPK karena secara substansi perubahannya memperlemah KPK.
Substansi perubahan UU KPK yang justru akan membonsai kewenangan KPK yakni pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan dengan izin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk dapat menerbitkan SP3, serta pengangkatan penyidik independen.
“Gerakan perlawanan terhadap koruptor dan perilaku koruptif di republik ini akan terus menjadi konsen RPI sebagai bagian dari tanggung jawab sosial-politik,” tegasnya.
Pengamat Hukum Tata Negara ini mengatakan pembentukan hukum harus memenuhi rasa yang baik dan pantas bagi kehidupan bersama. “Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi keadilan dan kebaikan bersama,” tukasnya.
Menurutnya, DPR sebagai refleksi kedaulatan rakyat seharusnya mempertimbangkan rasa keadilan dan kebaikan masyarakat.
“Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Ini cermin mekanisme checks and balances dalam konstitusi kita. Tidak ada cabang kekuasaan yang merasa superior,” tandasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)