Tempo.co – Pengamat Hukum Pidana, Yenti Garnasih menilai kajian akademis draf revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak sesuai dengan kajian hukum yang berlaku di Indonesia. “Harusnya draf akademis dibuka untuk publik kan,” tutur Yenti saat ditemui di kantor Kompolnas, Senin, 15 Februari 2016.
Menurut Yenti, harusnya draf akademis revisi undang-undang KPK memiliki legal drafting. Kemudian DPR mengumumkan ke publik, terkait penyebab revisi undang-undang tersebut. Apalagi jika DPR merevisi undang-undang tersebut bertujuan untuk penguatan terhadap lembaga antirasuah.
“Apalagi DPR ini kan mengatasnamakan rakyat, tapi ternyata tidak menampung aspirasi rakyat,” kata perempuan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Panitia Seleksi Kompolnas 2016 tersebut. Justru dengan cara seperti ini, DPR terkesan berniat melemahkan KPK. Ada kepentingan politik tertentu dalam revisi tersebut.
Dia mempermasalahkan empat poin revisi undang-undang yang tekesan tak berlandaskan hukum yang berlaku. Di antaranya terkait pembentukan dewan pengawas oleh presiden, izin penyadapan perkara oleh dewan pengawas, penunjukan penyidik oleh dewan pengawas, dan pemberlakuan kewenangan Surat Perintah Penghentian Penyidikan. Keempat poin tersebut tak memiliki pengkajian hukum secara transparan.
Harusnya DPR lebih memprioritaskan untuk menuntaskan revisi undang-undang Kitab Hukum Undang-undang Pidana. Selain itu, yang lebih penting adalah merevisi undang-undang tindak pidana korupsi. Mengingat undang-undang tersebut belum mengakomodasi berbagai modus baru dalam tindak pidana korupsi.
Pengamat Hukum bidang Kriminologi, Adrianus Meliala juga menambahkan bahwa saat ini DPR harus konsentrasi merivisi UU KUHP. “Harusnya revisi UU KUHP dulu,” kata dia. Menurutnya belum saatnya UU KPK direvisi, mengingat lembaga tersebut sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.
(Kongres Advokat Indonesia)