Detik.com – KPK kembali melakukan operasi tangkap tangan dengan target pejabat Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) Rohadi pada Rabu (15/6). Sehari sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) baru saja meminta maaf kepada masyarakat atas banyaknya aparat pengadilan yang terseret kasus korupsi.
“Saya kira MA tidak cukup hanya meminta maaf kepada publik,” kata pimpinan Komisi Yudisial (KY) Maradaman Harahap kepada detikcom, Kamis (16/6/2016).
“Tapi harus bertindak tegas dan cepat untuk membenahi,” sambung Maradaman menegaskan.
Ketua Mahkamah Agung (MA) sudah membuat kode etik panitera dan juru sita. Tetapi kode etik itu tidak diindahkan bawahan sehingga terjadi kasus seperti di PN Jakut.
“Ini bukti lemahnya pengawasan yang melekat,” ucap mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Belitung itu.
Maradaman menilai pengawasan integritas aparat harus dilakukan sedini mungkin. Sehingga bisa mendeteksi apakah ada pelanggaran etik atau tindakan lebih jauh.
“Mendeteksi pelanggaran kode etik indikatornya antara lain pola hidup panitera yang terkesan agak mewah, sering menerima tamu, sering keluar tanpa izin pimpinan dan keperluan yang tidak jelas,” ujar Maradaman.
Agar tidak terulang lagi, maka MA harus berani menindak tegas aparat pengadilan. Pimpinan pengadilan juga tidak bisa lepas tangan apabila ada kesalahan bawahan.
“MA harus segera menonaktifkan pejabat peradilan yang melakukan perbuatan tercela, termasuk menghukum atasan yang lalai mengawasi bawahannya,” ujar komisioner yang menjadi hakim selama 40 tahun itu.
Pihak internal MA juga menilai MA tidak cukup dengan meminta maaf. Hakim agung Gayus Lumbuun menilai harus ada langkah konkret dalam pembenahan lembaga.
“Dengan adanya aparat pengadilan yang tertangkap KPK menunjukkan semakin nyata kegagalan pembinaan dan pengawasan MA,” ucap Gayus senada dengan Maradaman.
Sebagaimana diketahui, operasi KPK merupakan operasi keempat dalam tiga bulan terakhir terhadap kalangan aparat pengadilan. Mereka yang dibekuk KPK adalah:
- Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto. Dari tangkapan ini menyeret nama-nama hakim agung.
- Panitera PN Jakpus Edy Nasution. Dari tangkapan ini menuntun KPK ke rumah Sekretaris MA Nurhadi. Sejumlah orang dijadikan saksi, beberapa di antaranya tidak memenuhi panggilan KPK.
- Dua hakim Pengadilan Tipikor Bengkulu, Janner Purba dan Toton serta panitera PN Bengkulu.
- Panitera PN Jakut.
MA telah meminta maaf kepada publik lewat salah satu pejabatnya. MA menyatakan aparat yang ditangkap adalah ‘oknum’ pengadilan, tidak mencerminkan kualitas lembaga. Oknum tersebut adalah nila yang merusak susu sebelanga.
“(Kami menyampaikan) Permohonan maaf karena perbuatan segelintir oknum MA dan pengadilan serta berbagai pendapat di masyarakat. Mahkamah Agung milik rakyat Indonesia, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur.
(Kongres Advokat Indonesia)