Cnnindonesia.com – Mahkamah Konstitusi kembali melakukan uji materi tentang partai politik, Selasa (14/6), dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi ahli/DPR. Permohonan uji materi ini berawal dari politikus Partai Persatuan Pembangunan Djan Faridz yang keberatan dengan keputusan Kementerian Hukum dan HAM lantaran tak kunjung mengesahkan pengubahan kepengurusan PPP di bawah kepemimpinannya.
Padahal Mahkamah Agung telah membatalkan Surat Keputusan Menkumham soal pengesahan pengurus PPP kubu Romahurmuziy dan menyatakan bahwa kepengurusan PPP kubu Djan Faridz sah. Namun Menkumham kemudian justru mengesahkan kepengurusan hasil muktamar Pondok Gede di bawah kepemimpinan Romahumurziy.
Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli dari pihak pemohon menilai ada kesalahan mekanisme atas pengesahan Menkumham Yasonna Laoly terkait kepengurusan. Seharusnya, menurut dia, usai ada putusan MA, Menkumham segera mengesahkan putusan tersebut. “Apapun keputusan di pengadilan itu yang harus disahkan oleh Kemenkumham. Kalau seperti ini ya kesalahan ada di Kemenkumham,” ujar Yusril di Gedung MK, Jakarta, Selasa (14/6).
Yusril kemudian membandingkan dengan konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa yang pernah terjadi saat almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi presiden dengan almarhum Matori Abdul Djalil. Kala itu Gus Dur meminta pada Yusril yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman untuk mengesahkan kepengurusan di bawah kepemimpinannya.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini pun lantas menolak dengan alasan harus tunduk pada putusan internal partai. Lantaran belum ada mahkamah partai, mereka kemudian membawa konflik itu ke pengadilan. Putusan konflik itu ternyata baru keluar setelah Yusril tak lagi jadi menteri dengan memenangkan Matori.
Namun Yusril mengaku beruntung lantaran menteri penggantinya yakni Hamid Awaludin turut mengesahkan apa yang diputuskan pengadilan. “Ya memang harus netral dalam mengesahkan. Tidak boleh memihak atau sampai ada pertimbangan politik supaya memperkuat dukungan pemerintah di DPR,” katanya.
Saksi ahli lainnya Ahmad Syarifuddin Natabaya menjelaskan, jika MA telah mengeluarkan putusan hukum yang bersifat incracht maka tidak bisa dilawan lagi. Namun hal ini yang kemudian meninbulkan multitafsir dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor pasal 33 ayat 2 yang menyatakan bahwa perselisihan parpol diselesaikan melalui pengadilan negeri tingkat satu dan upaya hukumnya kasasi.
Natabaya berpendapat bahwa peraturan tersebut tak jelas karena tak menyebutkan apa yang harus dilakukan menteri terutama dalam menjalankan perintah pengadilan. “Memang ada yang menggantung. Harusnya ada ayat baru bahwa menteri yang melakukan putusan tersebut,” ucapnya.
Sebelumnya MA telah mengabulkan permonan PPP kubu Djan Faridz pada November 2015 terkait kepengurusan PPP kubu Romahurmuziy. Keputusan ini membuat Menkumham mencabut SK pengesahan pengurus PPP kubu Romahurmuziy. Di satu sisi kubu Djan Faridz mengajukan pendaftaran kepengurusan hasil muktamar Jakarta. Namun Yasonna mengatakan persyaratan tak dipenuhi seluruhnya.
Untuk mengisi kekosongan pengurus, Yasonna menghidupkan kembali pengurus hasil muktamar di Bandung 2011 lalu. Dalam muktamar itu Ketua PPP adalah Suryadharma Ali dan Sekretaris Jenderal Romahumuziy. Hingga kemudian Menkumham mengesahkan dan menerbitkan SK kepengurusan PPP hasil muktamar Pondok Gede pada April lalu.
Kepengurusan yang dipimpin Ketua Umum Romahurmuziy dan Sekretaris Jenderal Asrul Sani ini dinilai telah mengakomodasi hasil muktamar Bandung, Jakarta, dan Surabaya. Dengan pengesahan pengurus ini maka otomatis menonaktifkan SK Muktamar Bandung yang sebelumnya sempat diaktifkan.
Permohonan ini diajukan kader PPP yakni Ibnu Utomo, Yuli Zulkarnaen, dan R Hoesnan. Ketiganya merasa dirugikan oleh ketentuan proses penyelesaian internal parpol khususnya pasal 33 ayat 2 UU parpol yang bersifat multitafsir.
Pemohon menyebutkan bahwa pasal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tindak lanjut pelaksanaan putusan itu. Lebih lanjut akibat multitafsir itu Menkumham kemudian mengabaikan putusan kasasi dan berhak untuk tidak menerbitkan keputusan pengesahan susunan kepengurusan parpol yang telah disahkan oleh putusan tersebut.
(Kongres Advokat Indonesia)