Cnnindonesia.com – Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyoroti masih terus terjadinya masalah penetapan Justice Collaborator (JC) atau pelaku yang berperan membongkar peran pelaku lain dalam suatu tindak pidana di pengadilan.
“ICJR melihat ada perbedaan cara pandang dari aparat penegak hukum atas syarat dan standar dalam berbagai regulasi yang tersedia,” ujar Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi W. Eddyono dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (11/6).
Misalnya, kata Supriyadi, Surat Edaran MA (SEMA) No 4 tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator) Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, UU No 31 Tahun 2006 dan UU No 31 tahun 2014, serta Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK.
“Cara pandang hakim, jaksa, LPSK atas pelaku bekerja sama yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan reward atas pelaku yang bekerja sama sulit didapatkan. Ini juga akibat kurang harmonisnya peraturan soal pelaku yang bekerja sama,” tutur Supriyadi.
Dia mencontohkan misalnya dalam revisi UU No 31 tahun 2014 juga tidak memasukkan mengenai persyaratan sebagai pelaku yang bekerja sama sehingga rumusan syarat ini harus dicari padanannya dalam beberapa peraturan di luar UU. “Misalnya SEMA atau kesepakatan antarlembaga. Inilah yang membuka celah beda pandangan tersebut,” ucapnya.
ICJR menilai soal frase “pelaku utama” dalam regulasi yang ada masih kurang tepat, karena akan menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda. Dalam kasus sebelumnya, menurut Supriyadi, frase ini juga yang menjadi batu sandingan terkait terdakwa Kosasih Abas di Pengadilan Tipikor tahun 2014.
“Kosasih Abas yang ditetapkan oleh KPK sebagai JC justru mendapat hukuman yang lebih berat dari tuntuan. Masalah ini kemungkinan akan terjadi pula dengan kasus korupsi dengan terdakwa Gatot-Evi yang sudah ditetapkan sebagai JC oleh KPK,” ujar dia.
Supriyadi menyatakan pihaknya merekomendasikan agar seluruh institusi penegakan hukum agar kembali duduk bersama untuk menyamakan persepsi soal frase ”pelaku utama” sebagai salah satu syarat dalam penetapan JC.
Lebih jauh ICJR meminta agar aparat penegak hukum kembali melihat aturan baru yaitu dalam UU No 31 tahun 2014. “Definisi saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama,” kata dia.
Pasal ini, lanjut Supriyadi, harus menjadi rujukan baru bagi peraturan lainnya. “SEMA atau kesepakatan bersama Apgakum harus direvisi berdasarkan UU yang baru tersebut.”
Supriyadi menambahkan jika masalah tersebut masih kerap terjadi maka cita-cita Indonesia dalam mengusung peran JC untuk berkolaborasi di pengadilan akan makin surut. Sebab para tersangka calon JC berpotensi akan berpikir ulang untuk kolaborasi dengan penyidikan dan penuntutan. “Dan hal ini akan mempersulit tugas jaksa dalam mengungkap kasus-kasus khusus,” ujarnya.
Berdasarkan data KPK, pada 2016 ada 21 permohonan tersangka korupsi yang meminta status JC di KPK. Dari 21 permohonan ada 2 kasus yang diterima sebagai JC dan 10 ditolak atau tidak memenuhi syarat, dan 9 permohonan masih proses.
Sedangkan menurut data LPSK sampai dengan 2016, ada 8 kasus yang tersangka atau terdakwa telah mendapatkan status JC dari LPSK dan dalam perlindungan LPSK. Seluruh kasus tersebut adalah kasus korupsi.
Sementara itu berdasarkan data dari BNN di tahun 2016 ada 8 narapidana yang meminta status JC, dan seluruhnya ditolak oleh BNN karena tak pernah bekerja sama dengan penyidik dan sebagian tidak pernah disidik oleh BNN. Adapun data dari BNPT dan Kejaksaan tidak diketahui berapa jumlah tersangka atau terdakwa yang meminta status JC dan berapa yang telah diberikan status JC.
(Kongres Advokat Indonesia)