Tempo.co – Indonesia Police Watch mendesak empat polisi yang merupakan ajudan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Nurhadi Abdurachman datang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi. Keempatnya dipanggil untuk memberi kesaksian dalam kasus dugaan suap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka adalah Brigadir Ari Kuswanto, Brigadir Dwianto Budiawan, Brigadir Fauzi Hadi Nugroho, dan Inspektur Dua Andi Yulianto.
“Mereka diharapkan taat hukum dan jangan menghindar atas nama tugas, apalagi melecehkan KPK,” ujar Ketua Presidium IPW Neta S. Pane lewat keterangan tertulis, Ahad, 12 Juni 2016.
Empat orang yang merupakan aparat penegak hukum itu diminta menghargai proses hukum yang tengah dilakukan KPK dan bersikap kooperatif.
IPW pun meminta Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti merespons langkah KPK. “Dengan cara memberi penjelasan bahwa empat polisi itu sedang bertugas di Poso (Sulawesi Tengah) dan berjanji akan menarik mereka dari medan tugas agar bisa menjalani pemeriksaan di KPK,” ucap Neta.
Saran untuk Kapolri itu, tutur Neta, untuk menghindari timbulnya kesan bahwa Polri meremehkan panggilan KPK. Namun, jika panggilan itu tetap dimentahkan, IPW meminta KPK tegas dan menjemput paksa empat polisi tersebut.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif pada Jumat lalu menuturkan KPK belum mempunyai bukti ada pihak yang mencoba menghalangi proses pemeriksaan. Jika terbukti ada yang sengaja menyembunyikan sopir Nurhadi bernama Royani dan empat polisi tersebut, yang bersangkutan bisa dijerat Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lain dengan empat ajudan Nurhadi tersebut, posisi Royani masih sulit teridentifikasi KPK karena kerap berpindah. “Dia move around, selalu berubah-ubah tempat,” ujar Laode. Namun Laode memastikan Royani berada di Indonesia.
Para anak buah Nurhadi itu dipanggil KPK untuk mendalami perkara yang menjerat Edy Nasution. Edy diduga menerima uang suap dari Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga Doddy Aryanto Supeno untuk mengurus pengajuan peninjauan kembali perkara Grup Lippo. Nurhadi diduga terlibat kasus itu.
(Kongres Advokat Indonesia)