Hakim Nilai Penyuap Damayanti Tak Layak Sandang Status Justice Collaborator
Hakim Nilai Penyuap Damayanti Tak Layak Sandang Status Justice Collaborator

Hakim Nilai Penyuap Damayanti Tak Layak Sandang Status Justice Collaborator

Hakim Nilai Penyuap Damayanti Tak Layak Sandang Status Justice Collaborator

Hukumonline.com – Majelis hakim yang diketuai Mien Trisnawaty menilai Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir tak layak menyandang status saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator). Pasalnya, terdakwa penyuap anggota Komisi V DPR Damayanti Wisnu Putranti ini adalah pelaku utama dan pemberi aktif.

Oleh karena itu, majelis tidak mempertimbangkan status justice collaborator Abdul. Majelis menghukum Abdul dengan pidana penjara yang mendekati ancaman pidana maksimal dalam Pasal 5 UU Tipikor. “Empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair lima bulan kurungan,” kata Mien di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/6).

Sebagaimana diketahui, ancama pidana maksimal dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor adalah lima tahun penjara dan denda paling banyak Rp250 juta. Sementara, penuntut umum KPK hanya menuntut Abdul dengan pidana penjara selama 2,5 tahun, mengingat status justice collaborator Abdul yang telah mengungkap pelaku lain.

Namun, majelis tidak sependapat dengan penuntut umum. Hakim anggota Fahzal Hendri menjelaskan, sesuai SEMA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu, ada beberapa pedoman untuk justice collaborator.

Antara lain, justice collaborator merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangan sebagai sakai dalam proses peradilan. Melihat perbuatan terdakwa, majelis berpendapat Abdul bukanlah justice collaborator.

Sebab, menurut Fahzal, berdasarkan fakta di persidangan, ternyata sejak awal Abdul telah berusaha melakukan pendekatan-pendekatan kepada Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary. Bahkan, Abdul dan Direktur PT Sharleen Jaya (Jeco Group) Hong Arta John Alfred memberikan Rp8 miliar kepada Amran.

“Terdakwa melakukan pendekatan-pendekatan dengan memberikan uang Rp8 miliar bersama Hong Artab untuk membiayai suksesi Amran yang baru saja dilantik sebagai Kepala BPJN IX. Dimana, uang sejumlah Rp8 miliar tersebut bersumber dari uang terdakwa sebesar Rp4,5 miliar dan Hong Arta sebesar Rp3,5 miliar,” ujarnya.

Abdul juga aktif melakukan pertemuan dan negosiasi dengan anggota Komisi V, yaitu Andi Taufan Tiro, Musa Zainuddin, Damayanti, dan Budi Supriyanto dalam rangka mendapatkan proyek “program aspirasi” yang diusulkan BPJN IX ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk dimasukan dalam RAPBN 2016.

Selain itu, Abdul berusaha memenuhi permintaan Amran dengan mengumpulkan uang sejumlah Rp2,6 miliar dari sesama pengusaha kontraktor di Maluku dan Maluku Utara, Hong Arta, Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng, Direktur PT Putra Papua Mandiri Henock Setiawan alias Rino, dan Charlex Franz alias Carlos.

Uang itu diserahkan Abdul kepada Amran melalui Imran S Djumadil dengan maksud agar “program aspirasi” anggota Komisi V disalurkan dalam bentuk proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara. Dengan kewenangannya, Amran dapat menunjuk atau memberi kemudahan  perusahaan Abdul dan koleganya sebagai rekanan proyek.

Apabila dipandang dari perspektif pemberi suap dalam Pasal 5 ayat (1) UU Tipikor, lanjut Fahzal, majelis menilai peran Abdul lebih aktif dibandingkan pemberi suap lainnya. Tak hanya itu, Abdul juga melakukan beberapa pertemuan dengan anggota Komisi V yang disertai dengan pemberian uang secara berulang melalui beberapa saksi.

“Menimbang, dengan memperhatikan peran terdakaa yang demikian central di antara kawan terdakwa sesama kontraktor lainnya, yakni Hong Arta, Aseng, Henock, dan Charles di dalam mewujudkan anasir perbuatan pidana sebagaima dakwaan penuntut umum, maka majelis berpendapat terdakwa adalah pelaku utama dalam perkara ini,” terangnya.

Fahzal menyatakan, mengingat peran Abdul sebagai pelaku utama, serta pedoman dalam Pasal 10 UU No.13 Tahun 2006, SEMA No.4 Tahun 2011, penetapan Abdul sebagai justice collaborator berdasarkan SK Pimpinan KPK No.571/0155/05/2016 tanggal 16 Mei 2016 tidak tepat, sehingga tidak dapat dijadikan pedoman bagi majelis untuk menjatukan pidana.

Dengan demikian, majelis menghukum Abdul dengan pidana penjara selama empat tahun. Abdul terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair, Pasal 5 ayat (1) huruf a  UU Tipikor  jo Pasall 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP karena Abdul bersama-sama koleganya memberikan suap kepada Amran, Andi, Damayanti, Musa, dan Budi.

Amran, Andi, Damayanti, Musa, dan Budi masing-masing menerima uang Rp15,606 miliar dan Sing$223,27 ribu, Rp2,2 miliar dan Sing$462,789 ribu, Sing$328 ribu, Rp4,8 miliar dan Sing$328,377 ribu, dan Sing$404 ribu. Pemberian uang bertujuan untuk mengupayakan agar “program aspirasi” disalurkan untuk proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara.

Proyek-proyek dimaksud adalah proyek pembangunan jalan kontainer ruas Jailolo-Mutui Maluku, jalan Boso-Kau, pembangunan jalan Wayabula-Sofi, peningkatan jalan Wayabula-Sofi, dan jalan Mafa-Matuting yang seluruhnya program aspirasi Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) PAN Andi Taufan Tiro yang berasal dari dapil Sulawesi Selatan.

Proyek pelebaran jalan Tehoru-Laimmu sebagai program aspirasi Damayanti. Proyek rekonstruksi Jalan Werinamu-Laimu sebagai program aspirasi Budi, serta proyek jalan Laimu-Werinama, jalan Haya-Tehoru, jalan Aruidas-Arma, jalan Tehoru-Laimu, jalan Piru-Waisala, jalan Taniwel-Saleman yang semuanya program aspirasi Kapokosi PKB Musa.

Seharusnya jaksa banding
Atas putusan tersebut, Abdul masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Namun, pengacara Abdul, Haerudin Masaro mempertanyakan, mengapa majelis tidak mempertimbangkan status justice collaborator kliennya. Padahal, Abdul telah mengungkapkan semua fakta, termasuk adanya kerja sama dengan pelaku pemberi suap lain.

“Jaksa saja sudah kasih dia (Abdul) JC. Dia  juga mengungkapkan telah melakukan kerja sama, tapi kok ditolak semua (oleh majelis hakim). Semua fakta sudah dia ceritakan. Anehnya, dia diputus di atas tuntutan. Dan yang paling utama harus banding dalam perkara ini adalah jaksa, karena Abdul divonis di atas tuntutan jaksa,” tuturnya.

Haerudin mengatakan, apabila tidak setuju dengan pertimbangan majelis, jaksa biasanya mengajukan banding. Terlebih lagi, banyak pertimbangan majelis yang kontradiktif. Seperti, Abdul yang disebut berperan aktif melakukan pendekatan-pendekatan terhadap Amran, sedangkan faktanya, Abdul justru ditelepon Amran.

Menurutnya, berdasarkan keterangan para saksi, Alfred lah yang memperkenalkan Abdul dengan Amran dan Heri yang menelepon pertama kali. Sesuai fakta persidangan pula, Amran yang berusaha mencari pengusaha dan meminta Heri menelepon Alfred untuk menghadap. “Sekarang kok Abdul sendiri yang diajukan ke persidangan,” ucapnya.

Lantas siapa yang berperan aktif? Haerudin menjawab, yang berperan aktif adalah orang yang menelepon Abdul. Orang tersebut juga menyerahkan uang bersama Abdul. Entah mengapa, orang itu belum dijadikan tersangka oleh KPK. “Namun demikian, saya serahkan kepada klien kami karena dia menyebut pikir-pikir,” imbuhnya.

Senada, penuntut umum Kristanti Yuni Purnawanti pun masih pikir-pikir untuk mengajukan banding. Mengenai status justice collaborator yang tidak dipertimbangkan majelis, Yuni menyatakan akan melapor dulu kepada pimpinan KPK. “Di perkara lain, seperti Hakim Tripeni yang juga pelaku utama, JC dikabulkan. Tapi, ini tidak. Itu yang akan kami kaji,” tandasnya.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024