Hukumonline.com – Terbitnya Surat Keputusan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi Nomor Kep.0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi Kepada Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia (SK 0562) menuai respon dari sejumlah advokat. Sebagian besar respon itu bernada keberatan atau protes. Mulai dari mempersoalkan dasar hukum, penggunaan istilah hingga alas kewenangan BNSP.
[Ini Dokumen SK BNSP Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara]
SK 0562 yang terbit pada 24 Mei 2016 spesifik menyebut Lembaga Sertifikasi Profesi Pengacara Indonesia (LSPPI) sebagai institusi yang akan melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja untuk profesi advokat. Sayangnya SK 0562 tidak memuat keterangan siapa figur di balik LSPPI.
Dan, pertanyaan itu akhirnya terjawab ketika Hukumonline menghadiri acara peringatan Hari Ulang Tahun ke-8 Kongres Advokat Indonesia (KAI) kepengurusan Tjoetjoe S. Hernanto di Solo, akhir pekan lalu (4/6). Hukumonline bertemu langsung dengan Direktur LSPPI, Urbanisasi.
Urban menuturkan LSPPI berdiri atas rekomendasi KAI, sekira enam bulan lalu. Meskipun lahir berkat rekomendasi KAI, Urban menegaskan bahwa LSPPI bersifat independen dan secara struktural tidak berada di bawah KAI. Namun begitu, dia mengakui advokat-advokat yang akan mengikuti uji kompetensi di LSPPI adalah advokat anggota KAI.
“Karena uji kompetensi ini harus independen. Dan tidak boleh berada di bawah garis organisasi. Kalau di bawah garis organisasi bisa melampaui asas fairness (keadilan, RED). Sedangkan ada pedoman yang harus kita taati dan patuhi,” ujar Urban.
Dijelaskan Urban, standar kompetensi LSPPI mengacu pada pedoman yang telah ditetapkan BNSP. Walaupun peruntukkannya hanya untuk advokat anggota KAI, Urban membuka kemungkinan menerima advokat dari organisasi lain. Menurutnya, sebagai lembaga sertifikasi profesi, LSPPI tak boleh menolak orang yang mengajukan diri untuk diuji dan mendapatkan sertifikat kompetensi.
“Tetapi karena ini disebut sebagai standar kompetensi khusus, maka ini belum berlaku secara Indonesia atau standar kompetensi nasional Indonesia. Jadi hanya khusus berlaku standar kepada KAI saat ini,” ujarnya.
Urban meminta advokat dari organisasi lain tak perlu khawatir atas keberadaan LSPPI. Pasalnya, kata dia, sistem sertifikasi kompetensi tak akan mengganggu advokat dalam menjalankan profesinya, termasuk beracara di pengadilan atau melayani klien. Menurutnya, sistem sertifikasi kompetensi bertujuan untuk mengukur tingkat kemampuan advokat.
Alasan Memakai Istilah Pengacara
Terkait pemakaian istilah ‘pengacara’, Urban menjelaskan bahwa istilah itu dipilih dalam rangka pendaftaran organisasi ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM. Ketika hendak mendaftar dengan menggunakan istilah ‘advokat’, Urban mengaku pendaftarannya ditolak.
“Jadi tidak boleh lagi digunakan (istilah advokat, RED), itu kebijakan dari Kementerian,” katanya.
Makanya kemudian Urban memilih istilah ‘pengacara’. Menurutnya, meskipun tidak dikenal lagi dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, istilah ‘pengacara’ dinilai masih relevan dengan aktivitas dalam pemberian layanan jasa hukum kepada masyarakat.
“Tetapi penggunaannya adalah advokat, jadi jabatannya advokat. Jadi nama LSP Pengacara Indonesia hanya namanya saja. Kata ‘advokat’ di AHU Kemenkumham tidak boleh lagi kata-kata advokat. Akhirnya, alternatif LSP Pengacara Indonesia itulah melekat pada kita,” katanya.
(Kongres Advokat Indonesia)