Hukumonline.com – Kongres Advokat Indonesia (KAI) terus berupaya membuat gebrakan dalam peningkatan kemampuan advokat. Tak hanya itu, KAI pun menjalin kerjasama dengan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia (APPTHI) yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman di perhelatan ulang tahun KAI ke-8 di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (4/6).
Presiden Kongres Advokat Indonesia, Tjoetjoe S Hernanto, mengatakan perancangan kurikulum peningkatan kompetensi tak saja selepas menjadi advokat. Namun, terpenting menyiapkan calon advokat dari level mahasiswa di universitas. Menurutnya, menyiapkan advokat berkompeten mesti dari hulu.
“Jadi kami memikirkan bukan saja pas menjadi advokat, tetapi mempersiapkan dari hulu,” imbuhnya.
Namun, memungkinkan advokat yang sudah menjalani profesi tersebut dapat memohonkan pengujian kemampuannya melalui Lembaga Sertifikasi Profesi (LPS) Pengacara Indonesia. Menjalin kerjasama dengan APPTHI memang strategis. Pasalnya, APPTHI setidaknya didukung oleh 150 perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Langkah Tjoetjoe melalui organisasi yang dipimpinnya menggandeng APPTHI boleh jadi sebagai terobosan menciptakan advokat mulai dari hulu. Langkah KAI pun bukan tanpa dasar. Pasalnya, merujuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No.81 Tahun 2014 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi.
Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Penerbitan sertifikat kompetensi bertujuan memberikan bukti tertulis tentang kompetensi”. Sedangkan ayat (3) menyatakan, “Penerbitan sertifikat profesi bertujuan memberikan bukti tertulis tentan kemampuan menjalankan praktik profesi”. Namun, begitu kurikulum terkait dengan kompetensi advokat mesti dirancang agar nantinya mahasiswa yang nanti menjalani profesi advokat sudah memiliki kemampuan mumpuni.
Anggota Dewan Kehormatan APPTHI, Prof. Faisal Santiago, mengatakan kerjasama dengan KAI sebuah terobosan. Menurutnya, keinginanan agar profesi advokat masuk dalam kurikulum di fakultas hukum. Semestinya ketika menggelar Pendidilan Khusus Profesi Advokat (PKPA), lulusan fakultas hukum sudah memiliki kompetensi.
“MoU ini akan ditindaklanjuti dengan fakultas hukum di perguruan tinggi swasta di Indonesia,” ujarnya.
Ia berjanji bersama APPTHI dengan KAI akan menggelar rapat untuk membahas kurikulum pendidikan terkait profesi advokat masuk di fakultas hukum. Menurutnya, mencermati Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.83 Tahun 2013 tentang Sertifikat Kompetensi dan Permendikbud No.81 Tahun 2014 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi, dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi, membuat surat sertifikat kompetensi menjadi pendamping ketika mendapatkan ijazah selepas lulus kuliah di fakultas hukum.
“Bahwa sarjana hukum harus punya kompetensi melalui surat pendamping di ijazah. Dan kompetensi di bidang advokat dan kita harus menjalin kerjasama dengan organisasi advokat, dan KAI saja yang punya hari ini,” ujarnya.
Faisal yang tercatat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur itu berpendapat di kebanyakan negara maju, seorang sarjana hukum ketika menjalani profesi sebagai jaksa, hakim dan advokat memiliki standar kompetensi.
Terlebih, menghadapi era globalisasi dengan Masyarakat Ekonomi Asean(MEA), advokat mesti selangkah lebih maju. Oleh karena itu, mempersiapkan advokat yang memiliki kemampuan dan kompetensi mumpuni mesti disiapkan sejak menimba ilmu dan pengetahuan di bangku kuliah.
“Ke depan harapannya kompetensi advokat menjadi keharusan dalam jurusan hukum. Ke depan advokat yang baru menjadi advokat yang bagus,” pungkasnya
(Kongres Advokat Indonesia)