Hukumonline.com – Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) baru saja mengeluarkan surat keputusan yang memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pengacara Indonesia untuk melakukan sertifikasi profesi. Melalui uji kompetensi, sertifikasi profesi sudah dapat dilakukan oleh LSP Pengacara Indonesia dengan tetap mengacu pada pedoman BNSP sejak tanggal diterbitkan, 24 Mei 2016.
Namun, belum genap berusia dua minggu, surat keputusan tersebut sudah menuai kritik. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta kepada Ketua BNSP agar Keputusan Ketua BNSP Nomor Kep. 0562/BNSP/V/2016 tentang Lisensi kepada LSP Pengacara Indonesia itu dicabut.
Menurut YLBHI, terdapat beberapa kejanggalan yang muncul di dalamnya. Pertama, terkait penggunaan kata pengacara dari segi bahasa. Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang profesi advokat sudah tidak lagi mengenal istilah pengacara. Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat disebutkan, “advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Permasalahan kedua, BNSP tidak ada kaitannya dengan sertifikasi pengacara, baik secara kelembagaan maupun kewenangan. Menurut YLBHI, BNSP didirikan melalui PP Nomor 32 Tahun 2004 dengan tidak menyertakan UU Advokat dalam konsiderans bagian Mengingat, sehingga dapat dikatakan surat ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Masalah ketiga, yaitu UU Advokat telah memberikan kewenangan pengangkatan advokat dalam hal ini memberikan lisensi advokat untuk beracara kepada organisasi advokat. Syarat pengangkatan advokat yang diantaranya adalah telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dan telah lulus ujian advokat, keduanya dilakukan oleh organisasi advokat, sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Advokat.
“Sertifikasi kompetensi beserta uji kompetensi yang diatur oleh Keputusan Ketua BNSP tersebut, jelas bertentangan dengan UU Advokat yang memberikan kewenangan tersebut pada Organisasi Advokat,” tulis YLBHI dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Kamis (2/6).
Hambat Pemberian Bantuan Hukum
Pertimbangan lain yang menjadi perhatian YLBHI dalam menentukan sikap kontranya terhadap Keputusan Ketua BNSP tersebut adalah kemungkinan adanya hambatan yang muncul dalam proses pemberian bantuan hukum ke depan. Adanya uji kompetensi dinilai berpotensi mengganggu jalannya bantuan hukum, yang saat ini tidak memiliki banyak tenaga.
YLBHI pun berdalih, sebelum adanya sertifikasi profesi, UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum telah memiliki spesifikasi sendiri dalam pemberian layanan bantuan hukum yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 22 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantun Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum.
“Persyaratan sertifikasi dan uji kompetensi dalam Keputusan BNSP ini jelas tidak diakomodasi dalam UU Bantuan Hukum, dan malah dapat menghambat proses pemberian bantuan hukum, padahal jumlah Advokat Bantuan Hukum sendiri sudah sangat sedikit,” ungkap YLBHI.
Alih-alih menjamin kapasitas dan akuntabilitas Advokat dalam upaya pembenahan layanan, YLBHI menilai, Keputusan Ketua BNSP ini justru bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan serta berdampak pula terhadap proses pencarian keadilan bagi orang miskin dengan skema UU Bantuan Hukum.
Selain menuntut keputusan itu dicabut, YLBHI juga berharap Presiden Joko Widodo dan Menteri ketenagakerjaan, Hanif Dakhiri mengevaluasi kelembagaan yang menyeluruh terhadap BNSP. Presiden Jokowi dan Menteri Hanif Dakhiri diminta segera melakukan evaluasi terhadap seluruh pengurus BNSP, mulai dari Ketua, Wakil Ketua dan Anggota.
Hukumonline sudah mencoba menghubungi pihak BNSP, namun hingga berita ini diturunkan belum berhasil.
(Kongres Advokat Indonesia)