Inilah.com – Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto, menilai tertangkapnya Ketua Pengadilan Negeri Kepahiyang, Janner Purba oleh KPK telah mencoreng dunia peradilan di Indonesia. Tindakan itu sama sekali tidak patut.
“Artinya disini (Indonesia) mafia peradilan jelas bahwa memang ada,” kata Wihadi kepada INILAHCOM, Jakarta, Rabu (25/5/2016) malam.
Politikus Partai Gerinda ini menilai, tidakan Janner dan Hakim Ad Hoc Totok bersama dua orang panitera yang diduga menerima suap telah menambah kelam dunia peradilan. Menurut dia, sebagai hakim yang juga wakil tuhan tidak mempertontonkan perilaku yang menyimpang.
“Saya kira memang salah satu hal yang sangat memprihatinkan, dengan berapa kalinya hakim ini tertangkap tangan oleh KPK,” ujar Wihadi.
Dia berharap, penangkapan terhadap hakim adalah untuk yang terakhir kalinya. Untuk itu, dia meminta Mahkamah Agung (MA) benar-benar memberi pengawasan yang ketat pada hakim di seluruh Indonesia.
“Saya kira MA sendiri harus mawas diri dan juga memberikan satu perubahan terhadap hakim ini,” kata dia.
Diketahui, pada Selasa 24 Mei 2016, tim Satgas KPK melakukan operasi tangkap tangan di Bengkulu. Dari operasi itu KPK berhasil mencokok lima orang. Mereka diduga terlibat kasus dugaan suap pengamanan kasus dugaan korupsi pembayaran honor Tim Pembina Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M. Yunus daerah Bengkelu sebesar Rp 5,4 miliar yang sedang disidangkan di Pengadilan setempat.
Adapun lima orang itu diantaranya, Ketua PN Kepahiyang, Janner Purba; Hakim Ad Hoc Pengadilan Bengkulu, Totok; Panitera PN Bengkulu Badaruddin Amsori Bachsin alias Billy. Mereka bertiga sebagai penerima.
Kemudian pihak pemberi diantaranya, mantan Wakil Direktur Keuangan RS Muhammad Yunus, Edi Satroni; mantan Kepala Bagian Keuangan RS Muhammad Yunus, Syafri Syafii.
Sebagai pihak penerima Janner dan Toton disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 11 uu tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP. Sedangkan Billy disangka melanggal Pasal 12 huruf a atau b atau c atau pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 uu tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 kuhp jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Sedangkan pihak pemberi Edi Satroni Syafri Syafii disangka sebagai pemberi. Atas perbuatannya mereka disangka melanggar pasal 6 ayat 1 huruf a atau b dan atau pasal 13 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 kuhp jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
(Kongres Advokat Indonesia)