Dua Asas Baru Bagi Hakim Menjatuhkan Putusan
Dua Asas Baru Bagi Hakim Menjatuhkan Putusan

Dua Asas Baru Bagi Hakim Menjatuhkan Putusan

Dua Asas Baru Bagi Hakim Menjatuhkan Putusan

Hukumonline.com – Masalah lembaga pemasyarakatan tak bisa dilepaskan dari semangat aparat penegak menghukum setiap pelaku tindak pidana. Berdasarkan penelitian, 70 persen pidana penjara dirumuskan secara tunggal baik dalam KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP.

Selain itu, 20 persen merumuskan pidana alternatif penjara atau denda. Pada umumnya yang dijatuhkan hakim tetap hukum pidana penjara, bukan denda. Akibatnya, 90 persen orang yang dihukum dikirim ke penjara. Akibat lanjutnya, penjara makin penuh. Kapasitas penjara tak mencukupi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Barda Nawawi Arief menilai ada yang salah dalam cara merumuskan sistem penghukuman dalam KUHP. Perumusan pidana secara tunggal, kata dia, berimplikasi pada tugas-tugas aparat penegak hukum. Seolah-olah tidak ada alternatif bagi aparat penegak hukum selain penjara. Hukuman penjara menjadi imperatif, sesuatu yang wajib. “Penjara seolah-olah satu-satunya obat,” kata Prof. Barda dalam pelatihan hukum pidana yang diselenggarakan Mahupiki dan FH Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, Selasa (17/5).

Untuk memperbaiki kekeliruan itu, tim perumus RUU KUHP memuat pedoman bagi hakim menjatuhkan pidana penjara. Pedoman itu dituangkan dalam bentuk asas pada pasal 72 RUU. Asas pertama adalah penghematan (parsimony principle). Asas ini mengandung arti aparat penegak hukum jangan mengobral sanksi penjara. Hakim harus mempertimbangkan banyak hal termasuk alternatif sanksi lain sebelum menjatuhkan pidana penjara.

Asas ini menjadi pedoman agar hakim mengurangi hasrat untuk memenjarakan orang. Jangan sampai semua plaku tindak pidana dari semua jenis pidana harus berujung ke penjara. Penjara seharusnya adalah hukuman terakhir (last resort). “Jangan apa-apa langsung hukuman penjara,” ujarnya.

Asas kedua adalah menahan diri (restraint principle). Artinya, aparat penegak hukum, khususnya hakim, harus berhati-hati menggunakan hukuman penjara. Secara teoritis, hukuman penjara bisa berdampak positif seperti menimbulkan efek jera dan mengurangi potensi kejahatan yang dilakukan pelaku. Tetapi bisa juga negatif kalau dipakai sembarangan dan memaksakan.

Selain itu, dalam proses penyusunan dan diskusi-diskusi mengenai RUU KUHP muncul pula konsep rechterlijke pardon, konsep permaafan dari hakim. Dalam Simposium Nasional dan Pelatihan Hukum Pidana III yang diselenggarakan Mahupiki-Fakultas Hukum Unlam (16-19/5), konsep-konsep permaafan dan perdamaian dalam hukum pidana banyak mengemuka. Maaf dan damai dianggap sejalan dengan tujuan hukumyang sesuai Pancasila.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Marcus Priyo Gunarto mengatakan penguasaan asas hukum merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sarjana hukum selain penguasaan kaedah hukum, sistem hukum, dan penemuan hukum. Asas hukum dapat membantu menemukan hukum dalam suatu persoalan hukum yang belum jelas hukumnya. “Setiap aturan hukum bertumpu atau berakar dari asas hukum, yakni suatu nilai yang diyakini berkaitan dengan penataan masyarakat secara tepat dan adil”.

(Kongres Advokat Indonesia)

Silahkan tinggalkan komentar tapi jangan gunakan kata-kata kasar. Kita bebas berpendapat dan tetap gunakan etika sopan santun.

TERPOPULER

TERFAVORIT

Dikukuhkan Jadi Ketua Dewan Pembina KAI, Bamsoet : Pekerjaan Rumah Kita Banyak untuk Sektor Penegakan Hukum
September 27, 2024
Lantik Pengurus, Ketua Presidium DPP KAI: Kita Wujudkan AdvoKAI yang Cadas, Cerdas, Berkelas
September 27, 2024
Dihadiri Ketua Dewan Pembina Sekaligus Ketua MPR RI, Pengurus DPP KAI 2024-2029 Resmi Dikukuhkan
September 27, 2024
Audiensi Presidium DPP KAI – Menkum HAM RI: Kita Mitra Kerja!
September 7, 2024
Diangkat Kembali Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI), Ketua MPR RI Bamsoet Dukung Pembentukan Dewan Advokat Nasional
July 25, 2024