Pucuk pimpinan korps Adhyaksa ini menegaskan, putusan MK juga tidak memperhatikan rasa keadilan para korban tindak pidana korupsi atau lainnya, sehingga putusan itu memberikan perlindungan terhadap pelaku tindak kejahatan, termasuk koruptor. “Sementara melupakan adanya sisi lain pencari keadilan, yaitu korban kejahatan,” jelasnya.
Dengan putusan itu, maka jaksa tidak bisa maksimal memperjuangkan keadilan bagi korban tindak pidana, termasuk korupsi yang korbannya bukan hanya kerugian negara, namun juga hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia.
Prasetyo menegaskan, bukan kali ini saja MK membuat keputusan tak memihak pada penegakkan hukum dan menyulitkan penegak hukum, di antaranya tentang perluasan obyek gugatan praperadilan Pasal 77 KUHAP.
Dengan perluasan penetapan tersangka sebagai praperadilan, ujar Praseyto, maka para tersangka dengan mudah mempermasalahkan penetapan statusnya sebagai pesakitan dan juga penggeledahan serta penyitaan. “Sesuatu yg sangat menghambat dan mempersulit penyidikan,” katanya.
MK memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan PK itu setelah mengabulkan permohonan uji materi Pasal 263 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang diajukan Anna Boentaran, istri dari terpidana korupsi dan buronan kasus BLBI.