Kompas.com – Direktur Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengatakan bahwa saat ini belum terlihat adanya kemauan dari para pimpinan lembaga yudisial untuk mengupayakan reformasi di sektor peradilan dan pemberantasan mafia peradilan.
Dia mengatakan, dalam beberapa kasus pelanggaran pidana maupun etik yang melibatkan pejabat di lingkungan peradilan, jarang sekali ditemukan pejabat yang rela mundur karena merasa sudah mencoreng institusinya.
Ada beberapa kasus pelanggaran yang bisa dijadikan tolok ukur rendahnya keinginan para elit mengubah citra lembaga yudisial.
Kasus pertama yakni sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik Mahkamah Konstitusi (MK) dan Ketua MK Arief Hidayat.
Pemberian sanksi tersebut dilakukan lantaran Arief dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katabelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk “membina” seorang kerabatnya.
Namun, Ray menilai seharusnya sanksi yang diberikan tidak hanya berupa teguran secara lisan. Ketua MK sudah selayaknya mundur dari jabatannya karena telah melakukan pelanggaran etik.
Kasus kedua tertangkapnya Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Edy ditangkap karena diduga menerima suap dalam upaya pengajuan peninjauan kembali di PN Jakpus.
Kasus tersebut kini ikut menyeret nama Nurhadi, Sekretaris Mahkamah Agung. KPK pun telah mencekal Nurhadi agar tak berpergian keluar negeri, bahkan telah menggeledah rumah Nurhadi dan menyita beberapa barang dari rumahnya.
Nurhadi diduga terlibat dalam perkara tersebut.
“Ketua MK maupun Nurhadi tidak memiliki keinginan untuk mundur dari jabatannya. Hal ini menjadi indikasi tidak adanya kemauan melakukan reformasi secara institusional,” ujar Ray saat memberikan keterangan pers di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Senin (10/5/2016).
Lebih lanjut, Ray menjelaskan, upaya untuk mereformasi lembaga yudisial atau pun membongkar jaringan mafia peradilan tidak akan berhasil jika tidak dimulai oleh elit internalnya.
Pasalnya, menurut Ray, lembaga yudisial merupakan lembaga independen yang bebas dari intervensi dari siapa pun, baik dari lembaga eksekutif maupun legislatif.
“Jaringan Mafia Peradilan tidak bisa dibongkar jika tidak ada kontribusi elit di lingkungan peradilan. Lembaga peradilan itu independen. Legislatif dan eksekutif tidak bisa intervensi. Perubahan memang harus dari dalam,” kata Ray.
Sementara itu, Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, belum ada langkah konkret yang dilakukan oleh elit lembaga peradilan sejak ditangkapnya Panitera Sekretaris PN Jakarta Pusat Edy Nasution oleh KPK dan permintaan pencegahan terhadap Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.
Sikap tidak jelas ketua MA, kata Bivitri, menunjukkan tidak adanya komitmen dalam melakukan pembenahan secara menyeluruh. Tidak adanya sikap tersebut tentu akan menggangu marwah dan martabat lembaga peradilan.
Lebih jauh semakin memudarkan kepercayaan publik.
“Nampaknya persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial bukan menjadi sesuatu yang penting bagi ketua MA,” kata Bivitri.
(Kongres Advokat Indonesia)