Detik.com – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan diperiksa penyidik KPK terkait pembahasan 2 rancangan peraturan daerah (raperda) mengenai reklamasi. Diperiksa sebagai saksi, pria yang karib disapa Ahok itu akan dicecar tentang sejumlah hal terkait kasus suap di balik pembahasan raperda tersebut.
“Ahok akan dimintai keterangan tentang proses pembahasan raperda,” ucap Plh Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Selasa (10/5/2016).
Selain itu, penyidik KPK ingin mengetahui sejumlah hal yang diketahui Ahok terkait pembahasan raperda tersebut. Salah satunya mengenai latar belakang penetapan kontribusi tambahan yang termaktub dalam salah satu raperda.
“Ahok diperiksa juga tentang latar belakang penetapan besaran kontribusi dan perizinan reklamasi yang dikeluarkan selama dia menjabat,” jelas Yuyuk.
Ini merupakan pemeriksaan perdana Ahok terkait kasus tersebut. Sebelumnya, sejumlah anak buah Ahok turut diperiksa sebagai saksi dari lingkungan Pemprov DKI seperti Kepala Bappeda Tuty Kusumawati dan Kepala BPKAD Heru Budi Hartono. Tak hanya itu, penyidik KPK juga telah memeriksa sejumlah pihak dari DPRD DKI seperti M Taufik selaku Ketua Balegda dan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi.
Dalam kasus ini, penyidik KPK telah menjerat 3 orang tersangka. Yang pertama yaitu M Sanusi selaku Ketua Komisi D DPRD DKI. Dia diduga menerima suap dari salah satu pihak perusahaan pengembang yaitu PT Agung Podomoro Land (PT APLN). Dua tersangka selanjutnya yaitu pemberi suap, Presdir PT APLN Ariesman Widjaja dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro.
KPK tengah mendalami peran pihak lain dalam kasus ini. KPK menduga M Sanusi sebagai anggota Balegda tidak bermain sendirian untuk memainkan pembahasan dua raperda itu.
KPK menaruh curiga tentang pembahasan raperda yang tidak pernah kuorum. KPK menduga adanya ‘permainan’ di balik penundaan pembahasan 2 raperda itu.
Kecurigaan KPK memang beralasan. Dua raperda tentang reklamasi itu telah diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) ke DPRD DKI pada 23 April 2015. Saat itu, namanya adalah Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Tahun 2015-2035. Setahun berselang, raperda tak juga disahkan.
Informasi yang didapat dari seorang pejabat tinggi di KPK, sebenarnya suap kepada anggota DPRD DKI diberikan dengan motif yang sangat sederhana yaitu agar sidang pembahasan raperda tak kunjung kuorum. Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD terkait jumlah kewajiban yang harus dibayarkan pengembang. Ahok ingin para pengembang menyetor kewajiban 15% dari nilai NJOP, sedangkan DPRD hanya menyetujui agar pengembang menyetor 5% saja.
(Kongres Advokat Indonesia)