Hukumonline.com – Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Bobby Reynold Mamahit didakwa memperkaya diri sendiri sebesar AS$20 ribu dan Rp300 juta (sekitar Rp576 juta) terkait proyek Pembangunan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Sorong Tahap III Kemenhub.
Penuntut umum KPK Kresno Anto Wibowo mengatakan, selain memperkaya diri sendiri, perbuatan Bobby juga memperkaya orang lain, yaitu Kepala Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan Laut (PPSDML) Djoko Pramono sebesar Rp620 juta, ketua panitia pengadaan Irawan sebesar Rp1,22 miliar, Pejabat Pembuat Komitmen Sugiarto sejumlah Rp350 juta dan PT Hutama Karya (HK) sebesar Rp19,462 miliar.
Kresno menjelaskan, saat Bobby menjabat sebagai Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemenhub, dirinya mengetahui ada proyek pembangunan BP2IP Sorong tahap III pada PPSDML yang secara struktural berada di bawah BPSDM Kemenhub. Sebelumnya, proyek tersebut gagal dilaksanakan pada 2010.
Kemudian, Bobby menyampaikan informasi tersebut kepada Senior Manager Pemasaran PT Hutama Karya Basuki Muchlis dalam satu turnamen golf dan Basuki pun melaporkannya ke General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya Budi Rachmat Kurniawan. Budi kemudian memerintahkan Basuki dan Senior Manager Pemasaran PT Hutama Karya lain, I Nyoman Sudjaya melakukan pendekatan ke pihak Kemehub melalui perantara konsultan proyek bernama Danny Alex yang telah mengenal ketua panitia pengadaan Irawan dan penasihat Menhub Theofilus Waimuri.
Selanjutnya pada Januari 2011, Basuki, I Nyoman, Theofilus dan Danny Alex menemui Djoko Pramono selaku Kepala PPSDML dan Kuasa Pengguna Anggaran dalam proyek tersebut. Dalam pertemuan, Basuki dan I Nyoman menyampaikan keinginan PT Hutama Karya mengerjakan proyek itu dan Djoko pun mengarahkan untuk menemui Bobby. Pertemuan dengan Bobby dilakukan pada Februari 2011 di ruang kerjanya. Pertemuan itu dihadiri Basuki, I Nyoman, Budi Rachmat Kurniawan, Theofilus dan Danny Alex.
“Terhadap hal tersebut, terdakwa mengarahkan mereka agar berkoordinasi dengan Djoko Pramono selaku Kuasa Pengguna Anggaran yang akan melaksanakan lelang. Terdakwa juga memerintahkan kepada Djoko Pramono agar memenangkan PT Hutama Karya dalam pembangunan BP2IP Sorong,” katanya.
Menindaklanjuti perintah terdakwa, Djoko memerintahkan Irawan untuk memenangkan PT Hutama Karya dalam proyek senilai Rp96,4 miliar. Irawan pun beberapa kali bertemu dengan pihak PT Hutama Karya, yaitu I Nyoman Sujaya maupun project manager PT Hutama Karya Hari Purwoto di kantor PPSDML maupun di tempat karaoke.
Irawan pun setuju untuk mengubah tata cara evaluasi dari sistem gugur menjadi metode sistem nilai (merit point system) di luar ketentuan agar hasil evaluasi dokumen penawaran PT Hutama Karya memperoleh nilai tertinggi. Atas kemenangan PT Hutama Karya tersebut, PT Panca Duta Karya Abadi selaku pemenang cadangan mengajukan sanggahan dan oleh tim Inspektorat jenderal (Itjen) merekomendasikan sistem lelang ulang.
Namun lelang ulang tetap dikerjakan oleh Irawan sebagai ketua panitia pengadaan agar memenangkan PT Hutama Karya. Irawan kali ini dibantu Danny Alex dengan menambahkan persyaratan sub bidang usaha (SBU) tertentu yang tidak dimiliki PT Panca Duta Karya Abadi, padahal SBU itu tidak terkait proyek.
“Terdakwa mengetahui hal ini namun tetap memerintahkan Djoko Pramono melanjutkan proses pelelangan tersebut,” ungkap jaksa Kresno.
PT Hutama Karya akhirnya memenangkan pembangunan BP2IP Sorong tahap III dengan harga penawaran Rp91,305 miliar. Nilai proyek pun bertambah berdasarkan adendum atas penambahan pekerjaan sehingga mencapai Rp99,75 miliar. Setelah dilakukan penandatangan kontrak dan adendum, Bobby menyampaikan permintaan kepada Basuki Muchlis agar PT Hutama Karya memberikan sejumlah uang kepada Bobby.
“Terhadap permintaan tersebut, pada 20 Oktober 2011 pihak PT Hutama Karya yaitu Hari Purwoto dan Sutrisno menyerahkan uang sejumlah AS$20 ribu di ruang kerja terdakwa di kantor BPSDM Jalan Medan Merdeka Timur,” jelas Kresno.
Pada 18 November 2011, Bobby kembali bertemu Budi Rachmat Kurniawan dan Basuki Muchlis di restoran Hot Planet gedung Sarinah untuk membicarakan perkembangan pembangunan. Pada pertemuan itu, Bobby kembali menerima uang dolar AS senilai Rp200 juta yang diserahkan Basuki.
Bobby kembali mendapatkan uang pada 23 Desember 2011 sejumlah Rp100 juta dalam bentuk dolar AS yang diserahkan Hari Purwoto dan Budi Rachmat Kurniawan di ruang kerja Bobby karena sudah dilakukan pembayaran sebesar 100 persen yaitu Rp87,96 miliar, padahal PT Hutama Karya baru mengerjakan sekitar 87 persen. Uang itu digunakan oleh PT Hutama Karya untuk membayar sejumlah subkontraktor, pembayaran arranger fee baik untuk Bobby, Djoko Pramono, Irawan dan Sugiaro namun tetap menguntungkan PT Hutama Karya sebesar Rp19,462 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Bobdy didakwa berdasarkan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
(Kongres Advokat Indonesia)