Hukumonline.com – Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan dengan penyitaan uangsekitar Rp1,7 miliar oleh KPK terhadap Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi. Kasus itu dinilai sebagai dampak dari minimnya akuntabilitas dan transparansi MA dalam memproses perkara. Peneliti PSHK, Miko Ginting, mengatakan MA menangani perkara mulai dari tingkat kasasi sampai Peninjauan Kembali (PK).
Dalam setiap proses penanganan perkara sedikitnya harus melewati 27tahap yang ditangani oleh tiga bidang di MA. Pertama, biro hukum di bawah badan urusan peradilan. Kedua, direktorat pranata dan tata laksana di bawah direktorat jenderal badan peradilan umum. Dalam penanganan perkara, kedua badan itu mengurusi administrasi. Ketiga, kepaniteraan.
Menurut Miko alur penanganan perkara itu harusnyaditangani oleh kepaniteraan. Keterlibatan badan lain yang tidak bersingungan langsung dengan penanganan perkara membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.
Kondisi itu, menurut Miko, tambah rumit karena proses penanganan perkaradi MA cenderung tertutup. Misalnya, pihak yang mengajukan kasasi atau PK tidak bisa mengetahui perkara yang mereka ajukan berada di tahap mana. Sekalipun perkaranya sudah diputus, pengiriman berkas putusan sampai pada Pengadilan Negeri (PN) tidak bisa dilakukan dengan cepat.
Guna mencegah penyalahgunaan kewenangan Miko mengusulkan agar dibentuksistem yang akuntabel dan trasnparan. Ia yakin hal itu dapat mengontrol kinerja di MA. “Sistem di MA saat ini cenderung tertutup, misalnya dalam pemeriksaan perkara. Sistem yang akuntabilitas dan transparansinya minim membuka ruang penyalahgunaan kewenangan (korupsi),” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (7/5).
Sistem penanganan perkara yang tertutup di MA menurut Miko merupakanakar masalah munculnya potensi KKN. Akibatnya, aktor-aktor pelaku korupsi di lembaga peradilan, terutama MA bukan saja orang yang posisi jabatannya berkaitan langsung dengan penanganan perkara seperti hakim dan panitera tapi juga aparat birokrasi yang mengurusi administrasi.
“Saya yakin pimpinan MA mengerti persoalan ini, tapi pertanyaannya apakah mereka mau memperbaiki ini atau tidak,” tukasnya.
Direktur Advokasi dan Kampanye YLBHI, Bahrain, berpendapat para pejabat di lembaga peradilan yang tersangkut perkara dan mendapat sorotan publik mestinya mundur. Menurutnya, itu penting dalam rangka menjaga nama baik lembaga dan mencegah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Bahrain menegaskan, sejak reformasi semangat berbangsa dan bernegarasudah jelas yakni melawan KKN. Itu tertuang dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Regulasi itu mengamanatkan setiap penyelenggara negara, apapun jabatannya berkewajiban tidak melakukan KKN. Bahkan ada sanksi pidana yang dapat dikenakan paling singkat 2 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta.
Bagi Bahrain MA sangat pantas untuk direformasi karena sistem yangmereka gunakan saat ini tertutup. Ia mengaku punya pengalaman buruk dimana perkaranya di MA sudah 5 tahun berjalan tapi tidak kunjung ada putusannya. Ketika ditanya ke PN yang bersangkutan, mereka mengatakan putusannya belum diterima dari MA.
“MA sudah sangat pantas untuk direformasi agar sistem di sana jadi transparan dan akuntabel,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)