Hukumonline.com – Kasus yang menimpa siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rejang Lebong Bengkulu, Yuyun berupa pemerkosaan disertai pembunuhan belakangan menjadi sorotan masyarakat. Meski telah ada hukum pidana, namun perlu aturan lain yang besifat lex spesialis terhadap tindak pidana tersebut. Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai rancangan aturan yang bersifat khusus itu didorong agar masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2016. Dorongan itu datang dari Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI).
“Badan Legislasi (Baleg) perlu mempertimbangkan masuknya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum untuk memperberat hukuman bagi predator seksual alias pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak,” ujar Sekjen KPP-RI, Irma Suryani Chaniago melalui keterangan tertulis, Sabtu (7/5).
Kasus yang menimpa Yuyun dan kasus serupa lainnya mesti menjadi pertimbangan Baleg untuk memasukan RUU tersebut ke dalam daftar Prolegnas prioritas. Merujuk data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sedikitnya tiap dua jam sebanyak 3 perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual. Bahkan telah ditemukan sebanyak 15 bentuk kekerasan seksual. Nah sementara, hanya 3 diantaranya secara definitif diatur dalam peraturan perundangan-undangan, meski delik dan unsur yang diatur masih terbatas.
Anggota Komisi IX itu berpandangan setiap perempuan dari berbagai umum rentan menjadi korban kekerasan seksual. Tak saja perempuan berusia balita, perempuan berusia senja dan anak jalanan kerap menjadi incaran pelaku kekerasan kejahatan seksual. “Sementara pelakunya juga harus diwaspadai bahkan di tempat yang seharusnya paling aman bagi anak-anak,” ujarnya.
Kepala Divisi Media dan Pengembangan Jaringan KPP-RI Rahayu Saraswati Djojohadikusumo berpandangan peraturan yang ada dinilai tak mampu menjangkau spesifik delik terkait dengan kekerasan seksual. Bahkan belum menyediakan skema pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Dengan begitu perlu pengaturan secara khusus (lex spesialis). Tak hanya itu, penegakan hukum dengan hukum acara yang ada seringkali menimbulkan reviktimisasi, kriminalisasi maupun impunitas pelaku, karena persoalan pembuktian dan paradigma penegak hukum yang belum berperspektif korban.
Anggota Komisi VIII itu berpandangan desakan agar RUU tersebut masuk dalam Prolegnas karena beberapa alasan. Pertama, realitas kejahatan seksual secara kuantitas mengalami kenaikan dan tidak dapat ditolerir. Kedua, temuan Komnas Perempuan mengatakan bahwa terdapat 35 perempuan setiap hari mengalami kekerasan seksual. Oleh sebab itu diperlukan penanganan dan pemulihan yang komprehensif melalui payung hukum yang khusus.
Ketiga, hukum dan sistem penanganan yang ada dinilai tidak mampu mengakomodir dalam aspek pencegahan, penanganan maupun penindakan terhadap pelakunya. Dengan begitu, hak-hak korban tak dapat dilindungi. Keempat, sistem hukum yang ada belum mampu mengikutsertakan pentingnya menciptakan budaya melakukan pencegahan kekerasan seksual. Kelima, dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang khusus.
“Sekali lagi, KPP-RI menegaskan bahwa mustahil RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ditangguhkan melihat situasi yang sangat tidak dapat ditolerir,” imbuh politisi Gerindra itu.
Terpisah,, Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay mendukung penuh upaya pembentukan aturan hukum terkait dengan pemberatan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual. Ia mengakui aturan yang ada kini masih ditemui banyak kelemahan. Oleh sebab itulah, Saleh mendorong agar DPR dan pemerintah melakukan pembicaraan agar menyepakati adanya aturan penghapusan kekerasan seksual masuk dalam Prolegnas.
“Kasus Yuyun merupakan momentum melakukan evaluasi terhadap aturan yang ada saat ini. Tidak boleh ada lagi korban setelah Yuyun. Semakin cepat (ada UU bersifat lex spesialis, red), tentu semakin baik. Kita sekarang sedang berada dalam darurat kekerasan seksual. Harus ada benteng perlindungan dalam bentuk UU,” ujarnya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu menyarankan agar kelompok masyarakat menyampaikan pendapat dan masukannya secara tertulis. Sebab dengan begitu, DPR dapat mempelajari masukan masyarakat terkait adanya aturan sebagai payung hukum melakukan pencegahan dan penindakan terhadap kejahatan kekerasan seksual. Ia yakin Komnas Perempuan sebagai mitra kerja Komisi III telah memberikan masukannya kepada Komisi yang membidangi hukum itu.
(Kongres Advokat Indonesia)
[…] negara yang berhak memperoleh perlindungan dan rasa aman sebagaimana warga lainnya (2016)–kepala Divisi Media & Pengembangan Jaringan Kaukus Perempuan Parlemen (2016)–menolak tes keperawanan untuk syarat lulus sekolah dalam raperda Akhlakul Karimah Kab, […]