Kompas.com – Hakim Agung Gayus Lumbuun mengakui bahwa setiap hakim dan pejabat Mahkamah Agung berpotensi untuk terlibat tindak pidana korupsi.
Namun, menurut Gayus, korupsi di lingkup peradilan, terutama di MA, dapat dicegah jika hakim memiliki sikap tegas untuk tetap independen dan tidak bisa diatur pihak lain dalam membuat putusan.
“Saya akan mengatakan, pengaturan bisa dilakukan oleh semua pihak. Tapi kalau hakim tak bisa dipengaruhi maka tidak akan terjadi,” kata Gayus Lumbuun dalam acara “Satu Meja” di Kompas TV, Rabu (4/5/2016) malam.
Sedangkan pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, kondisi peradilan di Indonesia pascareformasi memang mengalami perubahan. Namun, perubahan itu belum menghasilkan keadaan yang lebih baik.
Di era Orde Baru, menurut Refly, peradilan begitu dikuasai pemerintah. Dulu, lembaga peradilan begitu mudah diintervensi pemerintah.
“Sekarang tidak bisa. Tidak lagi dikuasai pemerintah, tapi oleh pemilik modal. Sekarang lebih banyak memenangkan pemilik modal,” tutur Refly.
Sebagai hakim agung, Gayus Lumbuun mengakui kemungkinan dipengaruhinya hakim oleh kekuatan modal.
Lepasnya pengaruh penguasa atas lembaga kehakiman pun disebabkan mulai mandirinya Mahkamah Agung dalam penyusunan anggaran.
Karena itu, internal Mahkamah Agung punya peran penting untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Salah satunya adalah mengenai penempatan.
“Kalau menurut saya, poin pertama adalah penempatan hakim dan hakim agung yang tidak tepat,” ucapnya.
(Kongres Advokat Indonesia)