Kompas.com – Anggota Komisi III DPR Erma Suryani Ranik menilai bahwa masalah transparansi menjadi salah satu hal yang harus dibenahi di lembaga peradilan, terutama Mahkamah Agung.
Karena itu, menurut Erma, transparansi itu harus mulai dilakukan sejak awal, yaitu dari rekrutmen hakim dan sistem kesetjenan.
“Komisi III ingin menggodok RUU Jabatan Hakim. Karena kami tidak mau lembaga peradilan diintervensi penguasa atau pemilik modal. Peradilan harus jadi benteng terakhir keadilan,” ujar Erma dalam acara “Satu Meja” di Kompas TV, Rabu (4/5/2016) malam.
Menurut Erma, salah satu poin penting yang dibahas dalam RUU Jabatan Hakim adalah masa jabatan hakim agung. Selain itu, Komisi III DPR ingin ada evaluasi terhadap jabatan hakim agung secara periodik.
“Kami ingin jabatan dipilih tiap 5 tahun, kalau sekarang kan seumur hidup. Kami ingin teman-teman (hakim) yang akan apply, setelah 5 tahun KY (Komisi Yudisial) akan menguji lagi apakah layak sebagai hakim agung,” tutur Erma.
Ada pun poin evaluasi itu antara lain jumlah perkara yang ditangani dan seperti apa putusannya.
Sedangkan ahli hukum tata negara Refly Harun menilai perlunya dibangun kultur hukum di lembaga peradilan Indonesia.
Dengan demikian, jika ada pejabat hukum yang melakukan pelanggaran, termasuk pelanggaran kode etik, maka akan punya perasaan malu meskipun hanya dikenai sanksi ringan.
“Apalagi kalau punya jabatan tertentu di lembaga hukum, maka standarnya harus tinggi,” ucap Refly.
Sedangkan hakim agung Gayus Lumbuun menilai perlu ada keberanian yang dilakukan pejabat hukum. Gayus mencontohkan pejabat hukum di Hong Kong yang berani memberhentikan banyak hakim yang dianggap terlibat korupsi.
“Ini untuk mengurangi yang terlanjur kotor,” ucapnya.
(Kongres Advokat Indonesia)