Hukumonline.com – Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Edy Nasution melalui pengacaranya, Susilo Aribowo mengakui telah menerima uang dari Doddy Aryanto Supeno. Edy menerima uang sebanyak dua kali, yaitu Rp100 juta dan Rp50 juta. “Itu gratifikasi, ucapan terima kasih saja,” ujarnya, Rabu (4/5).
Penerimaan uang itu bertujuan agar Edy mempercepat pengiriman berkas Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). Saat ditanya berkas PK apa, Susilo mengaku kliennya lupa. Edy hanya mengingat bahwa dia mengenal Doddy dari orang PT Paramount Enterprise International, Wresti Kristian Hesti yang merupakan pegawai legal PT Artha Pratama Anugrah.
“Jadi, orang minta tolong supaya berkasnya cepat dinaikin ke MA. Ini kan berkas (PK) hanya diperiksa, ketika sudah memenuhi buku II MA, lengkap, diterima (berkasnya), dikirim (ke MA). Doddy itu ada yang ngenalin, kenalnya dari Hesti. Dia kenal Hesti Paramount. Kan dia itu biasa, sudah kenal bolak-balik,” ucapnya.
Sementara itu, menurut sumber hukumonline, orang yang diduga kuat sebagai Sekretaris MA Nurhadi menelepon Edy agar mempercepat pengiriman berkas PK suatu perkara ke MA. “Cuma dia (Edy) ditelepon sekali untuk mempercepat, meminta untuk mempercepat. Supaya (berkas PK) langsung dikirim ke MA,” kata sumber tersebut.
Namun, sumber tersebut enggan mengungkapkan perkara PK apa yang dimaksud. Berdasarkan informasi yang dihimpun, perkara yang dimaksud adalah PK atas putusan pailit AcrossAsia Limited melawan PT First Media Tbk (anak usaha Lippo Group). Berkas pemohonan PK itu diketahui masuk ke MA pada 11 April 2016.
Di lain pihak, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif tidak membantah maupun membenarkan adanya komunikasi antara Nurhadi dan Edy yang meminta percepatan pengiriman berkas PK ke MA. Ia baru mau mengungkapkan detail perkara Edy ketika sudah dinyatakan lengkap. “Nanti saja, kalau sudah lengkap akan di-update,” tuturnya.
Beberapa waktu lalu, Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati Iskak sempat membenarkan jika ada keterkaitan Nurhadi dengan perkara yang diurus Edy dan Doddy. Bahkan, ia mengungkapkan, KPK mulai memeriksa sejumlah saksi dari anak usaha Lippo Group, karena Nurhadi berhubungan dengan orang-orang itu.
Sebagaimana diketahui, diduga ada dua perkara anak usaha Lippo Group yang “diurus” Edy. Dua perkara itu adalah perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Kymco Lippo Motor Indonesia dan pailit AcrossAsia Limited melawan PT First Media Tbk. Terkait PK atas pailit AcrossAsia Limited hingga kini masih berproses di MA.
Awalnya, 30 Agustus 2012, PT First Media Tbk mengajukan permohonan arbitrase atas wanprestasi AcrossAsia Limited terkait pelaksanaan Facility Agreement tertanggal 30 Juni 2011 ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Lalu, BANI menghukum AcrossAsia Limited membayar utang kepada PT First Media Tbk sebesar AS$46,774 ribu.
Putusan BANI didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Kemudian, PN Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan tanggal 26 Desember 2012 yang menyatakan bahwa putusan BANI dapat dilaksanakan. AcrossAsia Limited pun dipanggil agar menghadap Ketua PN Jakarta Pusat hingga terbitlah teguran (aanmaning) ketiga.
AcrossAsia Limited meminta penangguhan pelaksanaan eksekusi atas putusan BANI. Hingga akhirnya, PT First Media Tbk mengajukan PKPU ke Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat sehubungan dengan utang AcrossAsia Limited yang telah jatuh tempo. PN Jakarta Pusat mengabulkan PKPU, serta menetapkan PKPU sementara untuk paling lama 45 hari.
Selanjutnya, AcrossAsia Limited mengajukan permohonan perpanjangan waktu penundaan kewajiban pembayaran utang pada 26 Februari 2013. Namun, pada 5 Maret 2013, PN Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang amarnya menyatakan termohon PKPU, AcrossAsia Limited berada dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya.
AcrossAsia Limited yang merasa keberatan dengan putusan pailit tersebut, mengajukan kasasi pada 13 Maret 2013. AcrossAsia Limited meminta majelis kasasi membatalkan putusan pailit yang dikeluarkan PN Jakarta Pusat. Akan tetapi, permohonan itu ditolak MA berdasarkan putusan No.214 K/Pdt.Sus-PKPU/2013 tanggal 31 Juli 2013.
Terhadap putusan kasasi, AcrossAsia Limited mengajukan upaya hukum PK. Dalam permohonannya, AcrossAsia Limited menjadikan PT First Media Tbk sebagai pihak termohon PK. Permohonan PK itu didaftarkan melalui PN Jakarta Pusat. Saat ini, berkas PK sudah dikirimkan ke MA dan sedang dalam pemeriksaan tim KHS.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Edy dan Doddy sebagai tersangka. Keduanya ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/4). Edy dan Doddy ditangkap di basement sebuah hotel di bilangan Kramat Raya, Jakarta Pusat sesaat setelah serah terima uang. Doddy diketahui pernah menjadi Direktur di anak usaha Lippo, PT Dunia Kreasi Keluarga.
Dari hasil OTT, KPK menyita uang sejumlah Rp50 juta. Pemberian uang Rp50 juta itu diduga bukan yang pertama kali. Pemberian pertama, yaitu sebesar Rp100 juta diduga dilakukan pada Desember 2015. Sementara, pemberian yang dijanjikan kepada Edy adalah sebanyak Rp500 juta, tetapi belum terpenuhi semuanya.
Pemberian uang diduga berkaitan dengan permohonan PK suatu perkara perdata yang didaftarkan di PN Jakarta Pusat. Namun, KPK belum mau mengungkapkan perkara perdata apa yang dimaksud karena penyidik masih melakukan pendalaman. Yang pasti, perkara perdata itu menyangkut dua perusahaan.
KPK menganggap kasus Edy merupakan pembuka untuk kasus yang lebih besar. KPK telah menggeledah kantor PT Paramount Enterprise International, kantor di PN Jakarta Pusat, serta rumah dan ruang kerja Nurhadi di MA. KPK juga telah mencegah Nurhadi dan Chairperson Chairperson PT Paramount Enterprise International, Eddy Sindoro berpergian ke luar negeri.
Ketika menggeledah rumah Nurhadi, KPK menemukan uang sekitar Rp1,7 miliar yang terdiri dari pecahan rupiah dan mata uang asing, yakni AS$37.603, Sing$85.800, ¥170.00, Saudi Arabia Riyal (SAR)7.501, Euro 1.335, dan Rp354,3 juta. Meski uang-uang itu sudah disita KPK, penyidik masih mendalami sumber uang tersebut
(Kongres Advokat Indonesia)