Hukumonline.com – Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi mengaku pernah bertemu Bos Agung Sedayu Group, Sugianto Kusuma alias Aguan. Namun, ia membantah jika pertemuan itu untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). “Sebetulnya silaturahmi,” katanya usai diperiksa sebagai saksi di KPK, Selasa (3/5).
Prasetio berpendapat, pertemuannya dengan Aguan bukanlah sesuatu yang bisa dipermasalahkan. Lagipula, dalam pertemuan tersebut, tidak ada pembicaraan mengenai Raperda, dan memang Prasetio pernah memiliki hubungan kerja dengan Aguan. “Saya kan bekas salah satu karyawan beliau,” imbuhnya.
Raperda yang dimaksud adalah Raperda tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta Tahun 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. KPK menduga ada “main mata” antara pengembang dengan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi.
Selain Prasetio, KPK juga kembali memeriksa Ketua Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta yang juga kakak Sanusi, Mohamad Taufik. Namun, saat ditanyakan mengenai pertemuan dengan Aguan,Taufik mengaku tidak pernah bertemu Aguan. “Tanya sama Sanusi saja, saya nggak pernah ikut. Saya ngurusin Raperda,” ujarnya.
Taufik menjelaskan, hingga kini, pihaknya masih belum sepakat dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta yang ingin memasukan ketentuan mengenai izin dalam Raperda. Pasalnya, Raperda yang dibahas bukan Raperda tentang Izin. Selain itu, Gubernur DKI Jakarta juga sudah mengeluarkan izin sebelum Raperda disahkan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi untuk beberapa pengembang, salah satunya PT Muara Wisesa Samudra yang merupakan cucu perusahaan PT Agung Podomoro Land (APL). Izin itu menindaklanjuti izin prinsip yang diterbitkan pada 2012 beserta perpanjangannya.
Dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra, Ahok menggunakan beberapa dasar hukum, antara lain Keputusan Presiden No.52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Dasar hukum yang digunakan Ahok ini, masih menjadi perdebatan. Sebab, ada peraturan perundang-undangan lain yang telah diperbaharui dan menjadikan Keputusan Presiden No.52 Tahun 1995 sudah tidak berlaku. Oleh karena itu, DPRD DKI Jakarta menolak salah satu poin Raperda mengenai perizinan.
Sebagaimana diketahui, beberapa kali pembahasan Raperda “gagal” karena belum adanya kesepakatan mengenai beberapa poin. Menurut pihak Pemprov DKI Jakarta, salah satunya mengenai poin tambahan kontribusi 15 persen dalam Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
DPRD DKI Jakarta meminta agar tambahan kontribusi diturunkan menjadi 5 persen dan dapat diambil di awal dengan mengkonversi besaran kontribusi tersebut. Kontribusi sebesar 15 persen ini disebut-sebut memberatkan pihak pengembang. Diduga terjadi pertemuan antara pihak DPRD DKI Jakarta dengan pengembang.
Beberapa anggota DPRD DKI Jakarta yang disebut bertemu dengan Aguan adalah Prasetio, Taufik, anggota Badan Legislasi DPRD DKI Jakarta Muhammad Sangaji alias Ongen, serta Ketua Pansus Reklamasi Selamat Nurdin. Untuk mendalami pertemuan ini, KPK beberapa kali memeriksa Prasetio, Taufik, dan Ongen.
KPK beberapa kali pula memeriksa Staf Khusus Ahok, Sunny Tanuwidjaja, Aguan, dan Direktur Utama Agung Sedayu Group, Richard Halim Kusuma. Anak usaha Agung Sedayu Group, Selain cucu perusahaan PT APL, PT Kapuk Naga Indah diketahui telah mendapatkan izin pelaksanaan reklamasi untuk Pulau C, D, dan E.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Sanusi, Presiden Direktur PT APL, Ariesman Widjaja, dan karyawan PT APL Trinanda Prihantoro sebagai tersangka. Ariesman melalui Trinanda diduga memberikan uang sejumlah Rp2 miliar kepada Sanusi. Uang itu diduga untuk mempengaruhi pembahasan Raperda di DPRD DKI Jakarta.
Dari penangkapan Sanusi, KPK menyita uang sejumlah Rp1,14 miliar. KPK kembali menyita uang sekitar Rp850 juta dari ruang kerja Sanusi. Meski KPK masih mendalami asal usul uang tersebut, Sanusi melalui pengacaranya sempat mengaku uang itu sebagai pengembalian dari pemberian Ariesman yang belum terpakai.
(Kongres Advokat Indonesia)