Hukumonline.com – Akhirnya, kasus dugaan suap yang melibatkan Kasubdit Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA), Andri Tristianto Sutrisna disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/5). Penuntut umum KPK, Ahmad Burhanudin mendakwa Ichsan Suaidi dan Awang Lazuardi Embat menyuap Andri.
“Terdakwa I (Ichsan) dan II (Awang) memberi uang sebesar Rp400 juta kepada Andri dengan maksud agar Andri mengusahakan penundaan pengirimam salinan putusan atas nama terdakwa I supaya tidak segera dieksekusi oleh jaksa dan untuk mempersiapkan memori peninjauan kembali (PK),” kata Ahmad saat membacakan surat dakwaan.
Ahmad menjelaskan, peristiwa itu bermula pada Juni 2014. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor Mataram, Ichsan dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Pelabuhan Labuan Haji di Kabupaten Lombok dengan pidana penjara selama 1,5 tahun. Namun, oleh Pengadilan Tinggi Mataram dinaikan menjadi 3 tahun.
Atas putusan banding itu, Ichsan mengajukan kasasi ke MA. Ichsan mendapatkan informasi dari Ghofur, hakim agung yang memeriksa kasasinya adalah Artidjo Alkostar. Lalu, Ichsan berencana mengajukan PK karena kemungkinan kasasinya akan ditolak. Kemudian, pada Januari 2016, Ichsan kembali mendapat informasi terkait kasusnya.
Ichsan mendapatkan informasi bahwa MA telah mengeluarkan putusan kasasi yang isinya menolak kasasi dan menambahkan masa hukumannya menjadi 5 tahun penjara. Mendengar informasi itu, Ichsan meminta Awang untuk menjadi pengacaranya dan mempelajari dokumen terkait proyek pembangunan Pelabuhan Labuan Haji di Kabupaten Lombok.
Selain itu, menurut Ahmad, Ichsan meminta Awang mencari akses ke MA untuk mengusahakan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi agar tidak segera dieksekusi oleh jaksa dan untuk mempersiapkan memori PK. Setelah mempelajari dokumen, Awang berpendapat, Ichsan bisa mengajukan PK karena ada unsur kekhilafan hakim.
Awang menyampaikan kepada Ichsan bahwa ia mengenal seorang pegawai MA bernama Andri yang dapat membantu penundaan pengiriman salinan putusan kasasi. Lantas, Ichsan meminta dipertemukan dengan Andri. Pada 26 Januari 2016, Awang dan Andri pun bertemu di Hotel Atria Gading Serpong, Tangerang.
Dalam pertemuan, lanjut Ahmad, Awang meminta Andri menunda pengiriman salinan putusan kasasi Ichsan agar tidak segera dieksekusi oleh jaksa dan untuk mempersiapkan memori PK. Awang juga meminta kesediaan Andri untuk dipertemukan dengan Ichsan di Surabaya. “Atas permintaan tersebut, Andri menyanggupi,” ujarnya.
Alhasil, pada 6 Februari 2016 sekitar pukul 22.00 WIB, Awang mempertemukan Andri dengan Ichsan di Hotel JW Marriot Surabaya. Hadir pula Triyanto dan Syukur Mursid Brotosejati alias Heri. Ichsan meminta Andri menunda pengiriman salinan putusan kasasi agar tidak segera dieksekusi dan bisa dimanfaatkan untuk mempersiapkan memori PK.
“Atas permintaan itu, Andri menyanggupi dengan imbalan uang sebesar Rp400 juta untuk jangka waktu penundaan selama tiga bulan. Selanjutnya, pada 7 Februari 2016, sebelum Andri kembali ke Jakarta, terdakwa I melalui Triyanto dan terdakwa II memberikan uang saku sebesar Rp20 juta kepada Andri,” papar Ahmad.
Pasca pertemuan di Surabaya, pada 9 Februari 2016, Andri menghubungi Kosidah, pegawai Kepaniteraan Muda Pidana Khusus MA, untuk memastikan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi Ichsan selama tiga bulan ke depan. Setelah mendapat kepastian, Andri menginformasikan kepada Awang dan meminta uang segera diserahkan.
Ahmad mengungkapkan, dalam rangka menindaklanjuti permintaan Andri, Awang kembali bertemu Andri di Hotel Atria Gading Serpong pada 12 Februari 2016. Awang meminta Andri menunggu Ichsan karena pemilik PT Citra Gading Asritama inilah yang akan menyerahkan uang. Namun, Ichsan tidak dapat hadir karena sakit.
Tak lama, Ichsan memerintahkan Sunaryo datang ke Hotel Atria Gading Serpong sambil membawa uang Rp450 juta yang dikemas dalam dua paper bag, masing-masing berisi Rp400 juta dan Rp50 juta. Uang Rp400 juta diserahkan kepada Andri, sedangkan sisanya, uang Rp50 juta diserahkan kepada Awang.
Beberapa saat setelah penerimaan uang, Ichsan, Awang, dan Andri ditangkap petugas KPK. Ahmad menyatakan, perbuatan Ichsan dan Awang yang memberikan sejumlah uang kepada Andri melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Perbuatan Andri yang menerima uang juga dianggap bertentangan dengan kewajibannya selaku pegawai negeri MA. Dimana, Pasal 4 angka 8 PP No.53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil melarang pegawai negeri sipil menerima hadiah atau apa saja dari siapapun yang berhubungan dengan jabatan/pekerjaannya.
Selain itu, perbuatan Andri juga melanggar Pasal 5 ayat (2) huruf a, b, dan g Keputusan Sekretaris MA No.008-A/Sek/SK/2012 tentang Aturan Perilaku Pegawai MA. Yang antara lain melarang pegawai MA menyalahgunakan kewenangannya sebagai pegawai negeri dengan tujuan memperkaya/menguntungkan diri sendiri/pihak lain.
Atas dakwaan tersebut, Ichsan dan Awang bersama tim pengacaranya tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Ketua majelis hakim, John Halasan Butarbutar melanjutkan persidangan dengan pemeriksaan saksi-saksi dari penuntut umum. John mengagendakan sidang pemeriksaan saksi pada Senin, 9 Mei 2016.
(Kongres Advokat Indonesia)