Hukumonline.com – Sekitar 91 tahun sudah pendidikan tinggi hukum eksis di Indonesia. Pemegang gelar sarjana hukum atau meester in de rechten pada masanya, telah menjadi bagian dari sejarah negeri ini. Namun, bagaimana keadaan pendidikan hukum yang ada sekarang?
Menjawab pertanyaan tersebut, hukumonline berkesempatan mewawancarai akademisi yang juga dikenal sebagai mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein. Ditemui di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, beberapa waktu lalu, Yunus menyebut bahwa cetakan dari pendidikan hukum ini masih belum bisa memberikan perubahan yang signifikan bagi Indonesia.
“Secara umum sekarang ini sudah lebih banyak sarjana hukum. Sayangnya, setelah dia lulus, banyak yang terbawa dalam praktik-praktik hukum yang katakanlah tidak benar ya. Sehingga ide untuk membuat mereka jadi pembaharu, membuat keadaan hari ini lebih baik, baik untuk dunia dan pendidikannya, belum terjawab,” tutur Yunus, Kamis (19/4).
Yunus mengibaratkan sarjana hukum sekarang sebagai ‘tukang jahit’. Mereka bekerja mengikuti model yang ada. Padahal yang diharapkan dari para cendikiawan ini adalah menjadi ‘desainer’. Seorang sarjana hukum harus bisa menentukan mau desain seperti apa, bukannya malah terbenam dalam praktik yang sudah ada.
Pria kelahiran Mataram 59 tahun silam ini menggarisbawahi, bahwa untuk membangun pribadi-pribadi yang berintergritas tinggi, institusi pendidikan dalam mengenyam ilmu memiliki peran sangat penting. Terutama dari dosen dan kurikulum yang ditawarkan oleh institusi tersebut.
“Sekolah hukum itu memerlukan pengajar-pengajar yang dapat memberikan contoh yang baik. Itu yang kita lakukan di sini, di Jentera ini. Sebab contoh itu bagaikan seribu bahasa. Kita tidak menerima dosen yang terkenal menjadi ahli yang dikenal punya pendirian berbeda, kita juga tidak merekrut dosen yang dikenal pernah plagiat,” kata Yunus yang kini bertanggung jawab menjadi Ketua Umum STHI Jentera.
Yunus menyayangkan pendidikan yang ada selama ini, khususnya dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), dimana pengajar terkadang malah justru memamerkan kekayaannya. Mereka menyampaikan bahwa aset tersebut didapat dari perbuatan-perbuatan yang ada di area abu-abu bahkan hitam.
“Jadi mereka kadang-kadang kalau ditanya ‘idolanya siapa?’ mereka sebut seorang advokat yang secara materiil memang kaya ya. Dilihat dari asetnya, mobilnya, terus mungkin sering tampil di sana sini kaya selebritis. Mereka pikir itu yang ideal. Tapi apa yang seperti itu yang mau ditiru?” tanyanya.
Merasa bertanggung jawab terhadap setiap mahasiswa bimbingannya, Yunus yang juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini pun menyampaikan bahwa sehabis ia menguji dan menyatakan mahasiswanya itu lulus, ia akan memberikan wejangan agar kelak terus diingat.
“Selalu setiap selesai nguji, saya ngadain semacam kultum, saya ceramahin mereka. ‘anda sudah dapat S1, jangan berhenti belajar. Yang terpenting anda jaga nama diri, keluarga, almamater. Jadi untuk bekerja tolonglah diperhatikan. Jangan hanya cari materi saja’,” Yunus mencontohkan.
Pesan lain yang selalu disematkan Yunus kepada anak didiknya, “if the wealth is lost, nothing is lost. But if health is lost, something is lost. And if dignity is lost, everything is lost (bila kekayaan hilang, nggak ada yang hilang. Tetapi kalau kesehatan hilang, sebagian dari kita hilang. Dan bila martabat yang hilang, semuanya hilang, red),” tuturnya.
Tak kalah penting, kurikulum juga menjadi faktor pendukung untuk menciptakan sarjana hukum yang berintegritas. Di Jentera, kata Yunus, mahasiswa akan mendapatkan mata kuliah terkait tanggung jawab moral seperti kuliah anti korupsi dan etika tanggung jawab profesi.
Selain itu, di awal-awal perkuliahan, mahasiswa Jentera juga menerima mata kuliah ilmu dasar lebih banyak daripada yang ada di kurikulum fakultas hukum lainnya. Hal ini dilakukan guna menciptakan lulusan-lulusan terbaik yang bisa bersaing di luar kelas. Membuat penelitian, tulisan dan argumentasi juga menjadi mekanisme belajar yang kerap diterapkan.
“Terbukti, kemarin waktu ikut lomba di Jogja, mahasiswa Jentera dapat juara 3. Padahal dia baru semester dua, dan kebanyakan peserta lain itu semua di atas mereka semesternya,” tutupnya.
(Kongres Advokat Indonesia)