Detik.com – Jaksa Penuntut Umum dari KPK memeriksa beberapa anggota DPR dan pihak lain dalam persidangan kasus suap eks Anggota Komisi V DPR, Damayanti Wisnu Putranti dengan terdakwa Abdul Khoir. Saksi yang hadir salah satunya merupakan kontraktor, yakni Dirut PT Intimkra Budi Liem.
Budi Liem menyebut modus Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah IX meliputi Maluku dan Maluku Utara Amran Hi Mustary memintai tolong untuk dibukakan rekening atas nama Amran. Namun, ia mengaku tidak tahu apakah saat membuka rekening ada terdakwa Abdul.
“Rekening atas nama saudara?” tanya JPU, di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (25/4/2016).
“Iya,” jawab Budi.
Budi menyebut, permintaan Amran kepadanya untuk dibukakan rekening dilakukan saat Amran menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum di Provinsi Maluku Utara. Menurut Budi, ia disuruh membuka rekening baru atas namanya berdasarkan permintaan Amran.
“Kapan?” tanya JPU.
“Saya lupa ,waktu itu dia terakhir jadi kepala dinas, atas permintaan Amran,” ungkap Budi
“Apa yang dia katakan?” kata JPU.
“Dia cuma minta bantu untuk buka rekening di Ternate,” ujarnya.
“Pada saat buka rekening ada Abdul?” tanya JPU.
“Waktu itu pak Amran Kepala Dinas PU Maluku Utara. Saya gak tau beliau sudah kenal apa belum,” kata Budi.
Budi mengaku kalau buku ATM dan kartunya dipegang oleh Amran sehingga digunakan oleh Amran. Belum diketahui apa motif sebenarnya Budi mau membukakan rekening untuk Amran, tetapi ia menyebut rekening itu pernah digunakan oleh Amran.
“Rekening pernah dipakai Pak Amran Hi Mustari,” ujarnya.
Selanjutnya Budi mengaku kalau ia tidak mengetahui berapa jumlah uang yang ada di rekening yang dibuka untuk Amran. Awalnya ia tidak mau menyebutkan dari mana uang yang didapat Amran di dalam rekening tersebut. Namun, ketika JPU mengeluarkan bukti hasil transfer ke rekening itu, Abdul Khoir disebut Budi mengirimkan uang sebanyak dua kali ke rekening itu.
“Dua kali transfer dari Pak Abdul Khoir. Masuk ke rekening yang saya bukakan untuk pak Amran. Pertama Rp 25 juta, kedua Rp 250 juta,” kata Budi yang tak bisa mengelak JPU.
“Ada gak Rp 1 miliar masuk situ?” tanya JPU.
“Gak pernah tahu,” jawabnya.
“Jadi Rp 25 juta dan Rp 250 juta? Pernah dicairkan?” kata JPU.
“Saya baru tahu pada saat diperiksa KPK, ada dua kali transfer pak Abdul Khoir kalau dari bukti transfer pertama Rp 25 juta dan yang kedua Rp 250 juta. Hanya itu saja yang ditunjukan KPK ke saya. Tidak tahu, ATM dan buku dipegang pak Amran,” kata Budi.
Budi menyebut perusahaannya pernah mengikuti tender pada tahun 2015 di Maluku Utara, tetapi ia mengaku bukan terkait proyek ini. Namun, ia menyebut kenal dengan terdakwa Abdul Khoir karena sesama kontraktor.
Sebelumnya dalam sidang, Damayanti Wisnu Putranti mengakui menerima fee dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU), Abdul Khoir, terkait proyek pembangunan jalan Tehoru-Laimu senilai Rp 41 miliar di Maluku Utara. Penerima fee dari rekanan tersebut, disebut Damayanti, telah menjadi sistem di Komisi V DPR.
“Pak Amran menginstruksikan Abdul untuk membayarkan fee yang sudah ada judul dan kode kepemilikan masing-masing. Fee untuk pembangunan jalan di Tehoru-Laimu,” kata Damayanti saat menjadi saksi untuk terdakwa Abdul Khoir di Pengadilan Tipikor, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2016).
Amran Hi Mustary adalah Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah IX meliputi Maluku dan Maluku Utara. Damayanti mengaku tak tahu mengenai pengaturan besaran fee tersebut, hanya saja ia menyebut pemberian fee kepada anggota dari rekanan telah menjadi sistem di Komisi V.
“Saya kurang tahu (soal pengaturan besaran fee). Itu sudah sistem, ketika saya masuk di komisi V,” ujar Damayanti.
(Kongres Advokat Indonesia)