Hukumonline.com – Belum lama ini, Mahkamah Agung (MA) menerbitkan kebijakan yang melarang pengajuan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan perkara praperadilan.
Kebijakan internal yang mengikat orang-orang yang berperkara di pengadilan ini dituangkan dalam Peraturan MA (Perma) No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Beleid ini sudah terbit sejak 18 April 2016. Dengan terbitnya beleid ini, maka kini dilarang mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan. Verboden!
“Kita baru saja menerbitkan Perma tentang larangan PK bagi putusan praperadilan. Jadi, perkara praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum PK,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di ruang kerjanya, Senin (25/4).
Ridwan menjelaskan terbitnya Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK termasuk banding. “Ini untuk menghindari kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh atau tidak pengajuan PK perkara praperadilan. Ada pendapat perkara praperadilan tidak boleh banding, kasasi, tetapi boleh diajukan PK,” kata Ridwan.
Menurutnya, pemeriksaan perkara praperadilan ini menyangkut formalitas menyangkut keabsahan prosedur sah-tidaknya penangkapan, penahahan, sah-tidaknya penghentian penyidikan yang cukup diselesaikan di pengadilan tingkat pertama. Sebab, faktanya selama ini cukup banyak perkara praperadilan yang diajukan PK ke MA.
Dalam praktik pengajuan PK perkara praperadilan umumnya ditolak majelis hakim agung, meskipun ada yang mungkin dikabulkan. “Makanya, kita terbitkan aturan ini untuk kepastian hukum dan agar tidak menunda-nunda perkara (pokoknya). Seharusnya, perkara ini sudah dilimpahkan ke pengadilan menjadi terhambat gara-gara pengajuan PK praperadilan,” kata hakim yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini.
Perma Ganti Rugi Lahan
MA juga menerbitkan Perma No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sebelumnya, terbit Perma No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2 Februari 2016.
“Aturan ini berkaitan dengan ganti rugi pembebasan lahan/tanah untuk kepentingan pembangunan jalan tol, jalan kereta, bandara, waduk (umum) yang diajukan ke pengadilan negeri. Kalau berkaitan keberatan atau pembatalan atas keputusan pejabat TUN terkait pembebasan lahan ini diajukannnya ke PTUN,” lanjut Ridwan.
Dia menerangkan uang titipan (ganti rugi) yang ditawarkan disimpan di pengadilan negeri setempat ketika ada warga tidak sepakat dengan besaran uang ganti rugi pembebasan lahan miliknya itu. Sementara pembangunan harus tetap berjalan, tidak boleh terhenti. Persyaratan dan prosedurnya ini sudah diatur Perpres No. 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Kalau mereka (warga) keberatan bisa menggugat ke PN. Nah, uang titipan pembebasan lahan ini dititikan oleh panitia pembebasan lahan ke PN. Nantinya, PN yang memutuskan,” katanya.
Perbedaan mendasar kedua Perma ini menyangkut sengketa penetapan lokasi lahan atau tanah untuk kepentingan umum oleh pejabat TUN yang diakjukan ke PTUN, sedangkan sengketa keberatan besaran ganti ruginya diajukan ke peradilan umum. Sidang gugatan perkara sengketa lahan ini merupakan speedy trial yang pemeriksaannya dibatasi hanya 30 hari. Sengketa lahan ini tidak tersedia upaya hukum banding dan peninjauan kembali (PK), tetapi bisa langsung diajukan upaya hukum kasasi ke MA.
Misalnya, nilai ganti rugi diatas NJOP (nilai jual objek pajak) yang ditentukan tim appraisal (penaksir) lembaga swasta. Apabila, ada pembebasan lahan yang masih didasarkan NJOP yang ditetapkan pemerintah bisa mengajukan keberatan/gugatan ke PTUN dan atau pengadilan negeri. Hal ini untuk menghindari kerugian bagi masyarakat yang tanahnya dibebaskan untuk kepentingan umum.
“MA juga menerbitkan Perma No. 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Berbagai UU yang mengatur produk jasa ekonomi syariah diperlukan spesialisasi hakim ekonomi syariah (dalam upaya menangani sengketa perbankan dan nonperbankan syariah),” tambahnya.
(Kongres Advokat Indonesia)