Detik.com – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan peninjauan kembali (PK) praperadilan yang diajukan oleh Polda Metro Jaya. MA menganulir putusan PN Jaksel dengan alasan telah terjadi penyelundupan hukum.
Kasus bermula saat seorang pengusaha Jakarta Barat, Ng Thin Po melaporkan seseorang ke Polda Metro Jaya dengan dugaan penipuan dan pemalsuan pada 27 Mei 2013. Namun setelah diselidiki lebih lanjut oleh polisi, kasus yang dilaporkan itu bukanlah tindak pidana tetapi kasus keperdataan. Alhasil, Polda Metro Jaya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tertanggal 22 Agustus 2014.
Atas penghentian kasus ini, pihak Ng Thin Pi tidak terima dan mengajukan praperadilan ke PN Jaksel. Pada 25 November 2014, PN Jaksel memerintahkan Polda Metro Jaya untuk mencabut SP3 tersebut serta memerintahkan kasus itu untuk ditelusuri lebih lanjut. Giliran Polda Metro Jaya yang tidak terima dan mengajukan PK dengan mengajukan saksi ahli Chairul Huda, Jamin Ginting dan Edward Omar Sharif Hieraj. Kesaksian para ahli ini diamini oleh MA untuk dasar mengabulkan PK itu.
“Laporan polisi Ng Thin Po tidak memenuhi unsur delik sebagai tindak pidana penipuan atau penggelapan karena masalah kedua belah pihak menyangkut masalah keperdataan karena pihak lain tidak melakukan pembayaran atau pelunasan harta barang karena adanya cacat atau tidak sesuai pemesanan barang. Hal ini disebut sebagai wanprestasi yang harus diselesaikan melalui gugatan perdata, bukan perkara pidana,” ujar ahli yang diamini majelis PK.
Hal itu tertuang dalam putusan yang dilansir website MA, Senin (25/4/2016). Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Andi Abu Ayyub Saleh dengan anggota hakim agung Dudu Duswara dan hakim agung Margono.
“MA selaku peradilan tertinggi dan pengawas peradilan dalam semua tingkatan, perlu meluruskan secara hukum setuap kasus permohonan PK, khususnya mengenai upaya hukum praperadilan yang melakukan penyelundupan hukum,” ucap majelis dengan suara bulat.
Hal itu diperkuat dengan hasil pleno bidang pidana MA yang menyatakan tidak semua permohonan PK praperadilan harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena bila terjadi penyelundupan hukum dengan berlindung pada putusan praperadilan seolah-olah benar, maka tentunya diberikan hak terhadap pihak untuk membuktikan bahwa putusan praperadilan tersebut adalah keliru atau salah menerapkan hukum.
“Putusan PN Jaksel Nomor 50/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel adalah terjadi kekhilafan atau kekeliruan nyata. Membatalkan Putusan PN Jaksel Nomor 50/Pid.Prap/2014/PN.Jkt.Sel. Menyatakan penghentian penyidikan adalah sah menurut hukum,” putus majelis pada 20 Oktober 2015 lalu.
Majelis PK mengesampingkan keterangan ahli Made Darma Weda yang menyatakan peristiwa yang dilaporkan ke Polda Metr Jaya itu adalah perkara pidana karena terjadi moral hazard atau perbuatan tercela dengan alasan bahwa barang diterima oleh pemesan, baru melakukan keberatan atau claim.
Putusan ini mengingatkan pada perkara praperadilan yang diajukan PK sebelumnya. Seperti saat mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin yang mengajukan PK praperadilan atas dirinya dan diputuskan tidak dapat menerima. Begitu juga saat Udar Pristono mengajukan PK praperadilan dan MA menyatakan tidak diterima.
Salah satu yang sedang diadili di MA adalah PK praperadilan terhadap Hadi Poernomo. KPK mengajukan PK atas putusan PN Jaksel yang mencabut status tersangka Hadi Poernomo. Bagaimana akhir kasus Hadi Poernomo?
(Kongres Advokat Indonesia)