Kompas.com – Koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP) menilai revisi Undang-Undang Penyiaran tidak disertai perbaikan, bahkan mengalami kemunduran.
“Semua yang ada di Remotivi melihat ini kemunduran jauh ke belakang,” kata Direktur Remotivi Muhamad Heychael, salah satu anggota KNRP, di Jakarta, Kamis (21/4/2016).
Heychael merinci beberapa permasalah yang patut dicermati pada revisi UU Penyiaran. Pertama, hilangnya pelarangan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran.
Sebelumnya, ada batasan yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 itu, tepatnya di pasal 18 ayat 1.
Kedua, minimnya peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Peran dominan penyiaran akan dipegang pemerintah.
“KPI menjadi sekedar lembaga pengawas isi siaran dan menjadikan pemerintah sebagai regulator utama dunia penyiaran,” ucap Heychael.
Kemudian, ada kewajiban sensor seluruh isi siaran yang tertuang dalam pasal 140 ayat 1. Heychael menduga, kewajiban sensor terkandung bagi seluruh isi siaran, termasuk produk jurnalistik.
Selain itu, pasal 150 menerangkan jumlah iklan yang bisa ditayangkan dalam sebuah program mencapai 40 persen dari jam siar. Sebelumnya, porsi iklan hanya 20 persen dari jam siar.
“Tidak rasional. Coba bayangkan 40 persen berarti 24 menit dari tayangan satu jam. Itu hanya commercial break, belum lagi addlips,” kata Heychael.
Revisi UU Penyiaran juga mengizinkan penyiaran iklan rokok. Heychael menilai adanya kontradiksi dalam ketentuan tersebut yang menyatakan adanya larangan iklan zat adiktif.
(Kongres Advokat Indonesia)