Kompas.com – Mantan anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM), Harry Wibowo, mengatakan bahwa proses yudisial dan non-yudisial tidak bisa dipisahkan dalam upaya penyelesaian Tragedi 1965.
Menurut Harry, proses yudisial dan non-yudisial seperti dua sisi mata uang. Dua jalur penyelesaian tersebut bukan merupakan hal yang dapat digantikan satu sama lain.
“Dua mekanisme tersebut adalah dua hal yang melengkapi. Dengan adanya upaya non-yudisial (rekonsiliasi) bukan berarti tidak perlu yudisial,” ujar Harry saat menjadi panelis Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Selasa (19/4/2016).
Lebih lanjut, Harry menjelaskan, di dalam proses penyelesaian, pemerintah tidak bisa mengesampingkan hak korban untuk mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, hak rehabilitasi dan reparasi, serta jaminan tidak berulangnya kejahatan tersebut pada masa depan.
Karena itu, ia memandang proses yudisial penting untuk tetap dilakukan. Langkah awal yang bisa ditempuh, kata Harry, adalah membuka hasil penyelidikan oleh Komnas HAM kepada publik.
Selain itu, Harry menyarankan Kejaksaan Agung untuk mengatakan hal yang menjadi kekurangan dari penyelidikan tersebut.
Setelah itu, pemerintah membentuk komisi kebenaran dan pemulihan korban yang bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Komite tersebut berfungsi untuk merespons hasil dari penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung.
“Selama ini, berkas kasus pelanggaran HAM masa lalu selalu bolak-balik di Komnas HAM dan Kejaksaan Agung,” ujarnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Kamala Chandra Kirana dari Koalisi untuk Kebenaran dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Menurut dia, rekonsiliasi nasional merupakan dampak dari proses pengungkapan kebenaran yang seharusnya lebih dulu diupayakan oleh pemerintah.
Meskipun sulit, kata Kamala, proses pengadilan harus tetap dilakukan. Proses tersebut merupakan satu-satunya upaya menuju penyelesaian yang komprehensif dan berkeadilan.
“Meski sulit, ada hal-hal yang bisa dipertanggungjawabkan dalam pengadilan,” ujar Kamala.
(Kongres Advokat Indonesia)