Koransindo.com – Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menolak draf revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK mendapat dukungan luas.
Dukungan ini disampaikan antara lain oleh aktivis antikorupsi, warga masyarakat, dan ahli hukum secara terpisah kemarin. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi mendatangi Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk menyuarakan penolakannya. Koalisi ini melakukan pertemuan dengan Ketua Baleg Supratman Andi Agtas sambil menyertakan petisi online bertajuk ”Jangan Bunuh KPK” yang ditandatangani 56.000 orang.
Di hari yang sama, sejumlah ahli hukum dan pegiat antikorupsi mendatangi Gedung KPK untuk menyampaikan dukungannya ke lembaga tersebut. Mereka antara lain Todung Mulya Lubis dan guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Saldi Isra. Menurut Todung, KPK merupakan anak kandung reformasi yang menjadi tumpuan sehingga tidak boleh sedikit pun melemah.
Di sisi lain, indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah sehingga revisi UU KPK tidak seharusnya dibicarakan sekarang. Menurut Todung, Presiden Joko Widodo dapat menyatakan ketidaksetujuannya pada revisi UU KPK ini dengan tidak ikut berpartisipasi dalam pembahasan revisi tersebut.
”Saya sih tidak mengatakan bahwa perlu ada revisi UU KPK dalam konteks korupsi masih sistemik, endemik, dan merajalela. (KPK) ini kan komitmen reformasi juga komitmen kita sebagai bangsa. Tidak boleh DPR menggunakan haknya untuk melemahkan KPK,” tegas Todung.
Sementara itu, saat dimintai pendapatnya oleh anggota Baleg DPR, guru besar ilmu hukum pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah mengungkapkan, revisi UU KPK sebaiknya tidak dilakukan sekarang dan harus menunggu selesainya revisi Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Apalagi masalah pengaturan penyadapan seperti yang akan diatur di UU KPK juga ada di dalam RUU KUHP.
Andi Hamzah juga menegaskan bahwa pembentukan Badan Pengawas KPK sebagaimana diatur di RUU KPK tidak diperlukan karena hanya akan membuat birokrasi baru dengan konsekuensi anggaran baru di lembaga tersebut. ”Yang mengawasi KPK cukup presiden dan DPR dan tiap tahun ada laporan pertanggungjawaban ke DPR,” ujarnya.
Mengenai penyadapan, jika dilakukan oleh Badan Pengawas, Andi Hamzah mengatakan itu melanggar UU. Menurutnya, yang berwenang memberikan izin atas upaya paksa seperti penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan adalah hakim. ”Tapi KPK tidak usah merisaukan ini karena pada ayat 2 dinyatakan dalam hal mendesak tidak perlu ada izin (Dewan Pengawas),” ujarnya.
Selain Andi Hamzah, Baleg juga meminta pandangan dari guru besar hukum pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita. Namun Romli berpandangan, revisi UU KPK perlu dilakukan karena belum pernah ada perubahan UU sejak 12 tahun lembaga tersebut didirikan. Romli juga setuju dilakukan pengaturan penyadapan dan cenderung mendukung jika itu dilakukan Dewan Pengawas. ”Saya setuju untuk diubah, bahkan lebih dari empat poin (revisi UU KPK) juga setuju,” ujarnya.
Perwakilan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Donal Fariz mengapresiasi komisioner KPK yang tidak memenuhi undangan Baleg pekan lalu sebagai sikap penolakan terhadap revisi. Dia juga menyimpulkan bahwa empat poin revisi UU KPK semua bertujuan melemahkan sehingga harus ditolak.
Donal menyayangkan sikap ngotot DPR yang tetap ingin melakukan revisi meski penolakan masyarakat sangat kuat. ”Hanya Fraksi Gerindra dan Fraksi Demokrat yang menyatakan menolak usulan revisi. Delapan fraksi lainnya kompak mendukung revisi,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, penolakan yang disampaikan masyarakat tersebut akan diteruskan ke pimpinan Baleg lain dan fraksi DPR. Dia menegaskan, Fraksi Gerindra sejak awal tidak menyetujui sejumlah poin usulan revisi UU KPK itu. Namun dia mengaku tidak mudah untuk menghentikan proses revisi UU KPK ini. ”Agar lebih mudah, Presiden Jokowi menarik (dari pembahasan), menarik diri kalau melemahkan,” ujar anggota Fraksi Gerindra.
Bentuk Panja
Meskipun mendapat penolakan dari berbagai kalangan, Baleg DPR sepakat melanjutkan pembahasan revisi UU KPK dengan membentuk panitia kerja (panja). Keputusan tersebut diambil setelah 10 fraksi di Baleg DPR mendengarkan masukan dari dua perancang UU KPK, yakni Romli Atmasasmita dan Andi Hamzah, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) kemarin.
Wakil Ketua Baleg DPR Firman Soebagyo mengatakan, setelah dibentuk, Panja Harmonisasi Revisi UU KPK ini melakukan rapat konsinyering secara tertutup tadi malam. Baru setelah itu, hasilnya akan dibawa kembali ke Baleg dan rapat paripurna.
”Setelah panja melakukan rapat, disepakati menjadi inisiatif DPR, dibawa ke sini lagi, baru Badan Musyawarah dan paripurna, lalu kirim surat ke Presiden,” ujar Firman yang bertindak sebagai ketua panja.
(Kongres Advokat Indonesia)