Aktual.com – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia mempertanyakan langkah KPK yang mengenakan pasal suap kepada petinggi PT Brantas Abipraya. Padahal, diduga kuat pihak penerima adalah dua orang dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
“Lha wong belum ditemukan orang yang menerima suap, tapi sudah dikenakan pasal suap,” kata Koordinator LSM MAKI Boyamin Saiman di Jakarta, Minggu (10/4).
Seharusnya, kata dia, dikenakan dahulu percobaan suap yang diberikan kepada dua petinggi PT Brantas dan satu swasta, kemudian secara perlahan-lahan mengarah ke suap.
Karena itu, menjadi sangat janggal KPK bisa menyatakan adanya suap tanpa mengetahui siapa yang telah menerima suap itu. Dia menduga ada dua kemungkinan dalam kasus itu terkait dengan oknum jaksa di Kejati DKI.
“Pertama bisa saja tersangka dari pihak swasta Marudut mengklaim dia kenal dengan petinggi Kejati DKI, hingga bisa menghentikan penyelidikan dugaan korupsi di perusahaan tersebut.”
Atau memang ada oknum jaksa yang mengaku bisa menyelesaikan kasus itu, sembari pimpinan tidak tahu menahu soal itu. “Karena itu, KPK harus bongkar semua,” tegasnya.
Ketiga tersangka itu, Direktur Keuangan PT BA Sudi Wantoko (SWa), Senior Manajer PT BA Dandung Pamularno (DPa), dan seorang swasta, Marudut (Mrd).
Mereka ditangkap seusai melakukan serah terima uang sejumlah 148.835 dolar AS di sebuah hotel di bilangan Cawang, Jakarta Timur yang diduga untuk menghentikan penyelidikan dugaan korupsi periklanan BUMN itu.
KPK mengenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 53 ayat (1) KUHP.
Sedangkan Kajati DKI, Sudung Situmorang dan Aspidsus Kejati DKI, Tomo Sitepu, telah diperiksa oleh KPK pada hari yang sama seusai operasi tangkap tangan.
Pemeriksaan terhadap kedua orang itu dilakukan oleh KPK, secara diam-diam tanpa diketahui media. Bahkan pemeriksaannya dilakukan pada hari yang sama operasi tangkap tangan. Alias tidak seperti biasanya, pascapenangkapan tangan, pemeriksaan dilakukan beberapa hari kemudian karena penyidik harus mengumpulkan alat bukti.
(Kongres Advokat Indonesia)