Hukumonline.com – Seorang ibu berusia 84 tahun, Kentjana Sutjiawan, akhirnya mendapatkan tanahnya di Penjaringan, Jakarta Utara, setelah Mahkamah Agung memenangkan gugatannya atas kedua anak kandungnya yang ingin merebut tanah seluas 5.000 hektare. Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara melakukan eksekusi guna menindaklanjuti putusan Peninjauan Kembali (PK) yang turun pada 2015.
Kuasa hukum Kentjana, Dedy Haryadi menyatakan pelaksanaan eksekusi berjalan lancar dan pihak termohon menerima putusan PK tersebut. “Pemilik gedung menyerahkan secara sukarela,” katanya, Kamis (7/4).
Dedy menyebutkan kedua anaknya itu ingin menguasai tanah itu untuk jaminan kredit namun, Kentjana tidak mau memberikannya karena tanah itu merupakan tanah anak-anaknya yang lain.
Anak sulungnya Edhi, mengajukan gugatan ke PTUN dan PN Jakarta Utara pada 2011, namun pengadilan tingkat pertama itu mengabulkan gugatan Edhi dengan membatalkan putusan Kakanwil BPN mengenai kepemilikan sertifikat tersebut. “Hingga di tingkat Peninjauan Kembali, MA memenangkan Kentjana dan dia pemilik sah dari tanah itu,” kata Dedy.
“Saya benar-benar senang setelah berjuang 10 tahun, saya dapat kembali tanah milik saya sendiri,” kata Ny Kentjana Sutjiawan (84) sambil terisak-isak setelah jatuh bangun bahkan sempat dipenjara gara-gara dua anak kandungnya ingin menguasai tanahnya seluas 5.200 hektare di Jalan Gedong Panjang Nomor 47, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.
Kedua anak kandungnya, Edhi Sudjono Muliadi (anak pertama) dan Suwito Muliadi (anak kelima). “Saya datang ke sini ingin melihat tanah milik saya, ini bukan tanah warisan tapi tanah milik saya yang telah dibeli sejak 1975,” katanya sambil duduk di atas kursi roda.
Dikatakan, dirinya terpaksa harus melawan kedua anaknya itu gara-gara mereka ingin menguasai tanah dan tanpa seizinnya membangun Rumah Duka Heaven.
Dirinya sempat ditahan akibat tuduhan penggelapan dan pemalsuan surat sertifikat tanah yang pada akhirnya Pengadilan Negeri Jakut membebaskannya karena tidak terbukti tuduhan itu.
“Suwito bilang sertifikat Mama hilang, yang ada itu sertifikat milik saya kata Suwito. Kok punya anak seperti begini,” katanya sembari menahan tangis.
Kedua anaknya mengaku bahwa tanah itu merupakan tanah warisan dari ayahnya yang meninggal pada 1971. “Bagaimana itu tanah warisan, saya membeli tanah pada 1975 setelah suami saya meninggal. Jadi ini bukan tanah warisan,” katanya.
Upaya mempidanakan ibu kandungnya itu oleh kedua anaknya tidak berhenti di sana, juga berusaha mengusir ibunya ke Tiongkok. Mereka mengadukan sang ibu telah memalsukan dokumen kependudukan. Akibatnya paspor Republik Indonesia Kentjana Sutjiawan dicabut. Dan ia terancam diusir dari tanah airnya sendiri. Sulit dipahami bagaimana seorang WNI yang telah ikut 5 kali pemilu, memiliki dokumen resmi kependudukan bisa hilang kewarganegaraan dalam sekejap gara-gara pengaduan sumir kedua anaknya.
Edhi dan Suwito melaporkan ke Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM jika ibunya bukan warga negara Indonesia. Padahal, Kentjana mengantongi bukti kewarganegaraan Indonesia bernomor 527908/AL tanggal 16 Maret 1962; surat pernyataan ganti nama nomor 144965/GN/DB/1968 tanggal 8 Januari 1968; KTP atas nama Kentjana oleh Pemkot Jakarta Barat; paspor atas nama Kentjana tanggal 29 Mei 1975 dan sudah diperpanjang serta bukti-bukti lainnya.
“Saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan saja, akhirnya doa saya terkabul. Mereka itu anak kandung saya, saya yang melahirkan dan membesarkannya tapi jadi seperti ini,” katanya.
Anak ketiga Kentjana, Tjendana Muliadi menyatakan sedih melihat nasib ibunda itu yang sudah tua. “Seharusnya ibu saya menikmati masa tua, tapi harus menghadapi kenyataan ini, sekarang saya senang melihat ibu bahagia,” katanya.
(Kongres Advokat Indonesia)