Hukumonline.com – Skandal bocornya informasi ‘Panama Papers’ kian memperkuat DPR untuk mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak). Meski sebagian kalangan di DPR masih meragukan data yang muncul di Panama Papers, namun keberadaan RUU Pengampunan Pajak menjadi keniscayaan dengan melihat kondisi perpajakan.
“Yang pasti saya masukan dalam agenda utama dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) -untuk kemudian dibawa ke rapat paripurna-,” ujar Ketua DPR Ade Komarudin di Gedung DPR, Rabu (6/4).
Ade berpandangan, bocornya skandal Panama Papers adalah hal positif. Makanya, ia berkeinginan untuk mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Ia kekeuh agar RUU Pengampunan Pajak menjadi prioritas dan dapat rampung dalam masa persidangan ke IV 2015-2016.
Meski masih adanya perbedaan pandangan dari berbagai fraksi di parlemen, hal tersebut masih dapat dibahas untuk mencari jalan tengah agar pembahasan dapat dilanjutkan untuk kemudian diserahkan ke alat kelengkapan. “Ini prioritas, misalnya di Komisi XI. Kan tinggal buat Panja yang nantinya akan membahas,” ujarnya.
Anggota Komisi XI Muhammad Misbakhun berpandangan, munculnya sejumlah nama pengusaha yang masuk dalam daftar ‘Panama Papers’ menunjukan Wajib Pajak besar berkelit dengan kewajiban pajak. Oleh sebab itu, menjadi relevan aturan pengampunan pajak dituangkan segera dalam sebuah UU.
“Kalau dari Panama Papers, kita membutuhkan Tax Amnesty, dan sangat penting. Supaya dibangun sistem perpajakan baru dan tarifnya ebrsaing, ketika dipaksakan, tarifnya tidak tinggi,” ujarnya.
Misbakhun menilai kasus Panama Papers bakal menjadi pertimbangan untuk mempercepat pembahasan RUU Pengampunan Pajak. Menurutnya, arah pembuatan UU Pengampunan Pajak dalam rangka mendukung pemerintah terkait dengan penerimaan pajak, meningkatkan APBN yang ditopang penerimaan jangka pendek.
“Panama Papers membuktikan kita butuh Tax Amnesty. Keinginan orang untuk menghindari pajak selalu terjadi. Pajak itu pungutan negara yang dipaksakan dan dijamin konstitutsi. Tetapi mereka selalu mencari cara bagaimana mereka membayar pajak dengan ringan,” ujarnya.
Anggota Komisi XI Hendrawan Supratikno menilai bocornya ‘Panama Papers’ bagian upaya sistematis mempersiapkan global transparency system. Ia berpandangan dengan bocornya skandal ‘Panama Papers’ semakin memperkuat bahwa keberadaan pengampunan pajak kian relevan untuk dituangkan dalam aturan, yakni RUU Pengampunan Pajak.
Menurutnya, dalam draf RUU Pengampunan Pajak ada perbedaan skema uang tebusan antara pihak yang melaporkan kekayaan dengan mereka yang hanya memboyong kekayaannya ke dalam negeri. Namun, perbedaan skema itu dinilai tak terlampau signifikan. “Jadi kalau dilihat drafnya bagi wajib pajak orang maupun badan yang melaporkan kekayaan secara jujur diberi uang tebusan skema antara 2 sampai 6 persen,” ujarnya.
Sementara terhadap mereka yang melaporkan sekaligus membawa uangnya kembali dalam sistem keuangan Indonesia minimal 3 tahun, skemanya 1 persen – 2 persen – 3 persen. Skema itulah yang dinilai Hendrawan tak terlampau signifikan. Menurutnya, terhadap wajib pajak yang melaporkan kekayaanya secara jujur, maka uang tebusannya mesti lebih tinggi. Tetapi bagi mereka yang melapor dan membawa kekayaannya ke dalam negeri secara jujur mesti diberikan insentif yang cukup tinggi
“Nah agar skema ini diikuti, saya ingin mengusulkan ada pasal, bahwa bila wajib pajak tidak memanfaatkan peluang pengampunan ini dan di kemudian hari diketahui memiliki harta yang tersembunyi, baik karena kemajuan IT maupun kerja sama pajak antar negara, pengemplang-pengemplang ini ketahuan, dendanya 50 persen. Kenapa? Supaya ruang pengampunan ini dimanfaatkan dan pemerintah kredibel memberi efek jera,” ujarnya.
Konsultasi ke presiden
Sementara anggota Komisi XI Johnny G Plate mengatakan, hasil rapat Bamus DPR memutuskan RUU Pengampunan Pajak belum dapat ditindaklanjuti. Pasalnya, dari beberapa fraksi meminta agar dikonsultasikan terlebih dahulu ke Presiden Joko Widodo. “Betul dikonsultasikan dengan presiden terlebih dahulu. Setelah itu baru ditindaklanjuti sesuai dengan Pasal 50 UU No.12 Tahun 2011tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ujarnya melalui pesan pendek ke wartawan.
Pasal 50 ayat (1) menyebutkan, “Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR”. Ayat (2) menyebutkan, “Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR.
Kemudian ayat (3), “DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima”. Sedangkan ayat (4) menyebutkan, “Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan”.
Menurutnya, dalam rapat Bamus tidak dilakukan melalui mekanisme voting terkait dengan tindaklanjut RUU Pengampunan Pajak. Yang pasti, dalam rapat Bamus, masing-masing fraksi memberikan pandangan. Ujungnya, seluruh fraksi dalam rapat Bamus sepakat agar tindaklanjut RUU Pengampunan Pajak dikonsultasikan terlebih dahulu ke presiden.
“Jika fraksi-fraksi sepakat, maka bisa dibahas (RUU Pengampunan Pajak, -red) dan diputuskan di masa sidang ini,” pungkasnya.
(Kongres Advokat Indonesia)