Detik.com – Masih ingat kasus Nenek Minah pada medio tahun 2010 yang menggegerkan jagat hukum Indonesia? Kala itu sang ketua majelis, Muslich Bambang Luqmono (MBL) meneteskan air mata saat membacakan vonis kepada Nenek Minah. Kini MBL kembali masuk bursa hakim agung setelah gagal menjadi hakim agung dan hakim konstitusi beberapa waktu lalu.
Dalam catatan detikcom, Minggu (27/3/2016), gaya mencolok alias nyentrik MBL, demikian ia biasa disapa rekannya, terlihat dari kesehariannya. Ia enggan menggunakan kendaraan bermotor dan memilih naik sepeda onthel. Bahkan istrinya, Nur Azizah telah mengingatkan MBL untuk menggunakan kendaraan bermotor untuk menjaga wibawa pengadilan, tetapi MBL menolak.
“Kenapa harus malu?” kata Nur Azizah menirukan perkataan suaminya.
Berpuluh-puluh tahun menjadi hakim, ia belum memiliki kendaraan bermotor. MBL yang kini bertugas di Pengadilan Tinggi (PT) Semarang itu memilih sepeda untuk bepergian ke kantor atau sekedar mencari angin.
“Tidak punya (mobil). Punyanya sepeda onthel balap. Kenapa balap? Supaya saya tidak sombong,” kata MBL pada akhir 2014 silam.
Selama bertugas di 10 wilayah di Indonesia, dirinya hanya mengoleksi tiga sepeda balap. Sisanya dia berikan pada pembantunya atau orang yang dia kenal saat berada di daerah tempatnya berdinas.
“Ya tidak mungkin saya bawa semua, yang di Ponorogo saya kasihkan pembantu saya,” ujar bapak tiga anak ini yang menjadi memberikan hukuman percobaan kepada nenek Minah.
Satu di antara tiga sepedanya yang saat ini dia simpan di rumahnya di Kutowinangun, Kebumen, Jawa Tengah merupakan satu-satunya koleksi yang sangat dia banggakan. Sepeda balap bermerk Bianchi itu merupakan sepeda yang hanya diproduksi terbatas oleh produsen sepeda tersebut dalam edisi ulang tahunnya.
“Di dunia hanya ada 120 sepeda, limited edition dan ini sepeda terakhir Bianchi 1885-2005 saya dapat sepeda yang ke 120,” ungkapnya.
Sepeda yang diproduksi terbatas tersebut dibelinya dengan harga Rp 17 juta melalui seorang agen sepeda di Purwokerto, Jawa Tengah. Dengan cara mencicil setahun sebelumnya, dirinya pun mendapatkan sepeda istimewa tersebut. Selama bertugas di Pengadilan Tinggi (PT) Jayapura, ia tidak bisa bersepeda ke kantornya karena rumah dinas dengan kantor masih satu komplek sehingga ke kantor cukup dengan jalan kaki.
Sayang, kesederhanaan MBL tidak membuat DPR tertarik. Namanya dicoret sebagai hakim agung. Pada 2015 ia mendaftar hakim konstitusi tetapi kandas karena belum mengantongi gelar doktor. Kini jalan menuju hakim agung kembali ia tempuh. Apakah KY kembali meluluskan dan DPR terpincut dengan kesederhanaannya?
(Kongres Advokat Indonesia)