Kompas.com – Uji Materi beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dilakukan untuk menyelesaikan kebiasaan bolak-balik berkas perkara yang kerap terjadi antara penyidik dengan penuntut umum.
Hal itu diungkapkan salah satu pemohin uji matetri terhadap UU tersebut, Choky Ramadhan. Pasal yang diuji materi terkait pola koordinasi penyidik dengan penuntut umum dalam proses peradilan pidana atau yang dikenal dengan proses prapenuntutan.
Dalam praktiknya, bolak-balik (pengembalian) berkas perkara tersebut dapat terjadi sampai beberapa kali.
“Bahkan proses penyidikan yang ditandai oleh penyerahan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) bersifat tidak wajib, seringkali tidak diserahkan ke penuntut umum,” ujar Choky, yang juga bertindak sebagai Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Pidana, saat menggelar konferensi pers di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (27/3/2016).
Lebih lanjut ia menjelaskan, fenomena bolak-balik berkas perkara antar penyidik dengan penuntut umum terjadi karena terbatasnya peran penuntut umum dalam proses penyidikan perkara.
Seharusnya, menurut Choky, jaksa penuntut umum juga mempunyai kewenangan dalam proses penyidikan sebuah perkara karena jaksa yang akan melakukan proses penuntutan di pengadilan.
Selama ini, proses penyidikan hanya menjadi wewenang penyidik. Jaksa penuntut umum tidak memiliki wewenang mengontrol maupun mengawasi bagaimana proses penyidikan itu berjalan.
“Akibatnya Jaksa tidak mengetahui apakah proses penyidikan itu sudah sesuai dengan prosedur atau tidak,” ungkapnya.
Selain itu, dalam pasal tersebut juga tidak mengatur secara jelas mengenai batas berapa kali berkas perkara dapat dikembalikan dari penuntut umum ke penyidik atau sebaliknya.
Ketidakjelasan mengenai batas ini, kata Choky berpotensi melanggar hak tersangka sekaligus membuka ruang praktik penyalahgunaan kewenangan oleh aparatur penegak hukum.
Salah satu jalan pembenahannya, menurut Choky, yakni dengan adanya pengaturan yang jelas mengenai pola koordinasi antara penyidik dengan penuntut umum. Dalam KUHAP perlu ada penguatan peran penuntut umum sebagai pengendali perkara.
“Jika tidak diperkuat mengenai kewenangan penuntut umum dalam melakukam koordinasi dengan penyidik, maka penyidikan jadi berlarut-larut. Proses penetapan tersangka pun jadi berlarut-larut. Artinya tidak ada kepastian hukum,” pungkasnya.
Pada tahun 2015 beberapa pemohon yang terdiri dari Choky Ramadhan, Usman Hamid, Carolus Tuah, dan Andro Supriyanto mengajukan permohonan uji materi kepada MK mengenai beberapa pasal dalam KUHAP. Pasal-pasal terkait prapenuntutan yang diuji antara lain Pasal 109 ayat (1), Pasal 14 huruf b, Pasal 138 ayat (2), Pasal 139, dan Pasal 14 huruf i KUHAP.
Pasal- pasal tersebut dinilai telah menjadi salah satu sumber permasalahan sistem peradilan pidana di Indonesia, terbukanya ruang kesewenang-wenangan penyidik dalam tahap penyidikan, kriminalisasi, hingga korupsi di kalangan aparat penegak hukum.
(Kongres Advokat Indonesia)