Kompas.com – Pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menilai langkah polisi dalam menanggulangi aksi unjuk rasa masih belum efektif. Bambang mengungkapkan itu dengan merujuk penanganan aksi unjuk rasa sopir angkutan umum pada Selasa (22/3/2016).
Menurut Bambang, polisi seharusnya dapat mencegah terjadinya aksi anarkistis dalam unjuk rasa menolak keberadaan angkutan berbasis aplikasi tersebut. Karena faktanya, sejumlah sopir taksi dan pengemudi ojek berbasis aplikasi menjadi korban pemukulan, kendaraannya juga dirusak.
“Dengan sudah disiapkan pasukan itu maka langkah-langkah yang sudah dijalani kepolisian saya nilai belum efektif atau masih lemah. Polisi sudah berpuluh-puluh hingga beratus-ratus kali menghadapi aksi demonstrasi, masa kejadian seperti ini masih saja terjadi,” ujarnya ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (23/3/2016).
Bambang menambahkan pihak kepolisian harus menggalakan lagi latihan kerja keterampilan pengendalian aksi demonstrasi agar kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali.
“Latihan kerja keterampilan mengendalikan massa itu harus benar-benar optimal di dalam kepolisian. Sekarang ini sudah sering terjadi kejadian aksi anarkitis dari pendemo. Ini artinya polisi belum profesional dalam pengendalian massa,” ucapnya.
Bambang juga menilai kinerja intelijen dalam mendeteksi kelompok-kelompok dan area yang rawan terjadinya tindakan anarkistis masih lemah. Deteksi yang lemah ini memberikan informasi pada pengendalian masa yang tidak akurat sehingga aksi anarkistis dari para pendemo bisa terjadi.
“Jadi langkah pengamanan demonstrasi itu informasinya harus akurat dan harus benar-benar profesional,” jelasnya.
Kemarin, Selasa (22/3/2016), ribuan massa yang tergabung dalam Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) bersama Forum Komunikasi Masyarakat Penyelenggara Angkutan Umum (FK-MPAU) menggelar aksi unjukrasa terkait keberadaan perusahaan penyedia jasa transportasi online yang masih bebas beroperasi.
Selain itu, mereka juga meminta Kemenkominfo untuk membekukan operasi perusahaan tersebut, yang menggunakan kendaraan berpelat hitam sebagai angkutan umum, seperti Uber dan Grab.
Aksi tersebut pun direspons kepolisian dengan menyediakan lebih dari 5.000 personel untuk pengawalan. Bahkan polisi juga sudah mempersiapkan skenario terburuk dengan menyiapkan kendaraan water canon dan pasukan anti huru-hara jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dalam aksi tersebut.
“Jelas, bahwa skenario terburuk kita selalu ada. Untuk antisipasi itu kita sudah mapping. Yang jelas penggalangan maksimal. Terus kita sudah menyiapkan satuan tugas, baik dari anti huru-hara, Sabhara, terus sesuai eskalasi dari Brimob dan tim penegakan hukum juga ada,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes M. Iqbal, Senin (21/3/2016) malam.
Namun ternyata pada aksinya, para pengemudi angkutan darat tersebut melakukan aksi anarkistis. Mereka melakukan sweeping terhadap para angkutan darat yang masih beroperasi pada hari itu.
Bahkan, dalam sweeping tersebut mereka sampai melakukan perusakan terhadap kendaraan angkutan umum yang masih beroperasi.
Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Moechgiyarto aksi anarkistis terjadi karena massa yang melakukan unjuk rasa tidak memegang komitmen terkait kesepakatan antara PPAD dan polisi yang dilakukan sebelum aksi berlangsung.
“Bukan kecolongan, jadi mereka tidak bersepakat dengan baik. Kita sudah bersepakat bahwa di tiga titik dia akan melakukan demo di situlah konsentrasi kita mengamankan, ternyata pada titik awal saja dia sudah brutal, tidak sesuai dengan komitmen,” ujarnya di Mapolda Metro Jaya, Selasa (22/3/2016) malam.
Moechgiyarto menambahkan, aksi anarkistis para pendemo tersebut menurutnya bisa diantisipasi dengan baik oleh jajarannya. Polisi pun berhasil mengamankan 83 orang yang terlibat aksi sweeping disertai aksi kekerasan yang mewarnai demonstrasi sopir taksi tersebut. Seorang di antara mereka pun telah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
(Kongres Advokat Indonesia)